Pencarian Optimalisasi versus Pencarian Subsistensi

Pencarian Optimalisasi versus Pencarian Subsistensi

Pencarian Optimalisasi versus Pencarian Subsistensi
Ilustrasi Optimalisasi Diri Vs. Subsistensi (Gemini)
Dibaca normal sekitar 5 menit
oleh Darwadi

Hidup memang misteri dan kita tidak akan pernah tahu akan terlahir dimana, dengan orang tua siapa, keluarga yang bagaimana dan pada akhirnya kita diarahkan untuk dapat bersyukur dari apa yang sudah kita terima.

Tulisan ini berangkat dari artikel di businessinsider.com tentang bagaimana seorang enjiner bernama Gregor Konzett berpindah dari Amerika ke Inggris dalam rangka pencarian optimalisasi diri dan disaat yang bersamaan (mungkin) ada juga yang seusia dia di Indonesia namun pada 29 Desember 2025 harus mengutarakan aspirasinya di jalanan (demo) dalam rangka pencarian subsistensi diri.

Kisah seorang insinyur perangkat lunak Google seperti Gregor Konzett yang memilih meninggalkan kehidupan bergaji tinggi di Silicon Valley demi bergabung dengan startup di London, bukan sekadar cerita pribadi mengenai perubahan karier. Narasi ini merupakan representasi mikrokosmos dari dinamika pasar tenaga kerja global yang sangat terdistorsi di sektor teknologi. Keputusan ini mencerminkan pencarian yang melampaui kebutuhan finansial dasar,yakni, pencarian makna, pertumbuhan, dan budaya kerja yang lebih otentik.

Di sisi lain, masyarakat Indonesia secara berkala dihadapkan pada perdebatan sengit mengenai Upah Minimum Regional (UMR), atau yang secara resmi kini dikenal sebagai Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Isu UMR adalah pertarungan fundamental mengenai kebutuhan hidup layak dan keadilan sosial. Jika kepindahan insinyur Google adalah tentang mengoptimalkan pilihan gaya hidup setelah mencapai kemapanan finansial, perdebatan UMR di Indonesia adalah tentang mengamankan ambang batas kelangsungan hidup yang bermartabat.

The Birth Lottery

Ilustrasi nasib yang berbeda (Gemini)
Ilustrasi nasib yang berbeda (Gemini)
Secara filosofis, perbedaan nasib antara Konzett dan buruh di Jakarta dapat dijelaskan melalui konsep Birth Lottery atau "Lotere Kelahiran" dan biasanya sering dikaitkan dengan Veil of Ignorance oleh John Rawls. Konzett, yang mungkin lahir dengan akses pendidikan kelas dunia dan berada di pusat ekosistem teknologi global, memulai hidupnya beberapa langkah di depan garis finish banyak orang lain.

Bagi Konzett, "pekerjaan" adalah sebuah platform untuk aktualisasi diri. Kegelisahannya muncul bukan karena ia tidak bisa makan, melainkan karena ia merasa menjadi "sekrup kecil dalam mesin raksasa" yang kehilangan koneksi dengan dampak karyanya. Sebaliknya, bagi buruh yang turun ke jalan pada akhir Desember 2025, pekerjaan adalah instrumen pertahanan hidup. Mereka tidak sedang memilih antara startup di London atau korporasi di Silicon Valley; mereka sedang berjuang agar kenaikan inflasi tidak menggerus isi piring mereka.


Optimalisasi Diri vs. Subsistensi Diri

Ilustrasi Optimali diri dan Subsistensi Diri (Gemini)
Ilustrasi Optimali diri dan Subsistensi Diri (Gemini)
Kontras ini menciptakan sebuah dikotomi menarik yaitu Optimalisasi Diri dari Konzett yang merupakan anugerah bagi mereka yang telah menyelesaikan "Hierarki Kebutuhan Maslow" pada tingkat dasar. Pindah ke London adalah bentuk self-curation dan memilih lingkungan yang lebih sesuai dengan nilai-nilai personalnya, meskipun harus mengorbankan gaji fantastis.

Lalu, Subsistensi Diri bagi para kelas pekerja terutama yang di Jakarta dan sekitarnya yang merupakan perjuangan di tingkat dasar Maslow. Kenaikan UMP bukan tentang gaya hidup, melainkan tentang ketahanan terhadap kemiskinan struktural. Demo buruh adalah upaya kolektif untuk memastikan bahwa sistem ekonomi memberikan ruang bagi mereka untuk sekadar bertahan hidup atau subsistensi

Kisah Konzett adalah tentang kebebasan. Ia memiliki modal manusia atau biasa disebut human capital yang begitu besar sehingga pasar global tunduk pada keinginannya. Ia bisa "berhenti" dari Google yang merupakan sebuah mimpi bagi jutaan orang hanya karena merasa bosan atau tidak puas secara intelektual, atau merasa stagnan

Sementara itu, narasi buruh di Jakarta adalah tentang keharusan. Tidak ada pilihan untuk "berhenti" dan mencari makna di tempat lain jika tidak ada jaring pengaman sosial yang memadai. Satu-satunya pilihan rasional untuk mengubah nasib adalah melalui tekanan politik dan aksi massa. Jika Konzett melakukan negosiasi melalui curriculum vitae, para buruh melakukan negosiasi melalui solidaritas jalanan.

Refleksi Akhir (2025)

Ilustrasi Refleksi Akhir (Gemini)
Ilustrasi Refleksi Akhir (Gemini)
Membandingkan kedua narasi menyadarkan kita bahwa dunia kerja bukanlah sebuah lapangan bermain yang rata (level playing field). Keberuntungan tempat lahir dan akses terhadap sumber daya menentukan apakah seseorang akan menghabiskan usianya memikirkan "apa arti hidup saya" atau "apa yang akan saya makan besok".

Meskipun keduanya tampak berbeda, ada satu benang merah yaitu pencarian akan martabat. Konzett mencari martabat melalui kualitas kerja dan kontribusi yang nyata, sementara buruh Jakarta mencari martabat melalui pengakuan atas nilai keringat mereka yang setara dengan biaya hidup yang layak. Keduanya mengingatkan kita bahwa ekonomi, pada akhirnya, harus melayani kemanusiaan, baik itu dalam bentuk pemenuhan jiwa maupun pemenuhan raga.

Referensi
businessinsider.com, 2025, https://www.businessinsider.com/google-software-engineer-quits-silicon-valley-job-for-london-startup-2025-12?

metrotvnews.com, 2025, https://www.metrotvnews.com/read/K5nCRYaM-buruh-kembali-demo-hari-ini-pramono-kami-pegang-teguh-keputusan-ump-jakarta
Tulisan lainnya
Social Media
kontak yeTerangkat
yuhuuuterangkat@gmail.com
-
yeTerangkat
tempat ide ketemu hati nurani dan ditulis!
-
yeTerangkat, tempat ide ketemu hati nurani dan ditulis!