Ketika \"Cashless\" Mencederai \"Customer Focus\"

Ketika "Cashless" Mencederai "Customer Focus"

Ketika "Cashless" Mencederai "Customer Focus"
Ilustrasi Cashless Gerai Roti (Gemini)
Dibaca normal sekitar 10 menit
oleh Darwadi
Digitalisasi adalah keniscayaan, sebuah mantra yang dirapalkan oleh setiap pelaku bisnis di abad ini. Namun, ketika mantra ini dijalankan tanpa melihat konteks sosiologis masyarakat, ia berubah menjadi pedang bermata dua. Video viral yang diunggah oleh kompas menjadi sebuah teguran bagi ekosistem ritel di Indonesia. Dalam video tersebut, terlihat jelas bagaimana seorang nenek atau kelompok demografi yang termarjinalkan oleh teknologi ditolak saat hendak membayar dengan uang tunai (cash) di sebuah gerai roti ternama.
Kasus ini bukan sekadar insiden operasional belaka, ini adalah fenomena yang menyentuh aspek fundamental dari etika bisnis, hukum (UU Mata Uang), dan yang paling krusial, rasa kemanusiaan dalam pelayanan. Sebagai seseorang yang juga pernah berada di posisi serupa, melihat video tersebut membangkitkan deja vu tidak menyenangkan.
Opini ini membedah insiden tersebut tidak hanya sebagai berita viral, melainkan sebagai studi kasus kegagalan implementasi strategi bisnis yang tidak inklusif, dengan merefleksikan pengalaman pribadi yang juga pernah menjadi "korban" dari sistem cashless only.
Sebelum masuk pada analisis teoritis, izinkan saya menarik garis lurus antara nenek di video tersebut dengan pengalaman pribadi saya beberapa waktu lalu di salah satu pusat perbelanjaan (mall) besar di Kota Bogor.
Setelah berkeliling di mall tersebut, saya memutuskan mampir ke sebuah gerai roti tersebut. Antrean saat itu tidak terlalu panjang, namun aroma manis dari gerai tersebut membuat saya rela antri dan akhirnya tiba giliran saya di depan kasir, momen yang dalam marketing disebut sebagai First Moment of Truth, saya mengeluarkan selembar uang Rp50.000 namun kasir tersebut berkata, "Maaf Kak, cashless only. Tidak terima tunai."
Hasilnya? Saya tidak jadi membeli.
Pengalaman ini memberikan saya validasi emosional untuk memahami betapa frustrasinya nenek dalam video viral tersebut. Bedanya, saya masih muda, tidak terlalu ambil pusing dan bisa top-up di lain waktu. Bagi seorang lansia, penolakan seperti itu bukan hanya soal gagal beli roti, tapi (mungkin) lebih dari itu.

Distorsi Makna "Customer Focus"

Ilustrasi Costumer Focus vs. Company Focus (Gemini)
Ilustrasi Costumer Focus vs. Company Focus (Gemini)
Dalam teori manajemen modern, Customer Focus atau Customer Centricity adalah filosofi di mana keputusan bisnis didasarkan pada keinginan dan kenyamanan pelanggan. Premis utamanya sederhana, "Permudah pelanggan untuk memberikan uang mereka kepada Anda."
Namun, kebijakan cashless only yang kaku di gerai ritel fisik (terutama F&B massal seperti roti) adalah antitesis dari konsep ini. Gerai tersebut seolah melawan realita bisnis pada umumnya dan berdasarkan data Bank Indonesia yang dikutip dalam video tersebut, meskipun transaksi QRIS mencapai triliunan rupiah, kewajiban menerima Rupiah fisik tetap mutlak. Menolak uang tunai dengan alasan "efisiensi", "higienitas", atau "promo aplikasi" adalah bentuk Company Focus, bukan Customer Focus. Manajemen lebih mementingkan kemudahan pembukuan mereka sendiri (agar tidak perlu sedia uang kembalian atau setor tunai ke bank) daripada kenyamanan pelanggan.

The Cost of Lost Opportunity (Biaya Hilangnya Peluang)

Ilustrasi cost of lost opportunity (Gemini)
Ilustrasi cost of lost opportunity (Gemini)
Saat penulis mengalami penolakan di mall, yang terjadi bukan sekadar saya tidak jadi beli. Secara bisnis, gerai tersebut mengalami opportunity loss yang nyata. Pertanyaan besarnya, Sudah berapa banyak potensi penjualan yang hilang setiap harinya karena kebijakan ini?
Mari kita hitung secara sederhana. Jika dalam satu hari ada 10 orang seperti saya atau nenek tersebut yang "gagal transaksi" karena hanya membawa tunai atau terkendala sinyal/aplikasi, dan rata-rata transaksi adalah Rp50.000, maka toko kehilangan Rp500.000 per hari. Dalam sebulan, itu adalah Rp15.000.000. Itu baru dari satu gerai. Jika ini diterapkan di ratusan cabang, kerugian revenue bisa mencapai miliaran.
Dalam perspektif Cost of Customer Acquisition (CAC), membiarkan pelanggan yang sudah berdiri di depan kasir (sudah siap membeli) pergi begitu saja adalah "dosa besar". Pelanggan tersebut sudah melewati tahap Awareness dan Interest, mereka sudah ada di tahap Action. Mengagalkan tahap Action karena hambatan metode pembayaran adalah inefisiensi bisnis. Bisnis yang benar-benar fokus pada pelanggan akan menyediakan opsi pembayaran seluas mungkin (omni-channel payment), bukan membatasinya.

Pelanggaran Regulasi dan Risiko Bisnis

Ilustrasi Pelanggaran Regulasi dan Risiko Bisnis (Gemini)
Ilustrasi Pelanggaran Regulasi dan Risiko Bisnis (Gemini)
Video tersebut secara eksplisit mengutip UU Mata Uang No. 7 Tahun 2011 yang mewajibkan penerimaan Rupiah. Dari kacamata bisnis, kebijakan cashless only bukan hanya buruk secara strategi, tapi juga high risk secara legal. Jika penegakan hukum dilakukan secara ketat (seperti ancaman pidana kurungan atau denda Rp200 juta), biaya mitigasi risiko hukum ini jauh lebih besar daripada biaya operasional mengelola uang tunai. Bisnis yang cerdas tidak akan membuat kebijakan yang secara inheren melanggar hukum negara tempat ia beroperasi.

Kerapuhan di Titik "Moment of Truth"

-
Branding seringkali diartikan hanya sebagai logo, warna, atau jingle. Padahal, branding adalah akumulasi dari seluruh pengalaman yang dirasakan pelanggan. Insiden ini memberikan pelajaran mahal tentang bagaimana satu titik sentuh (touchpoint) bisa meruntuhkan citra yang dibangun bertahun-tahun.
P&G mempopulerkan pertama kali istilah First Moment of Truth FMOT sekitar tahun 2005, yaitu momen ketika pelanggan berhadapan dengan produk di rak atau toko dan memutuskan untuk membeli.
Bagi saya pribadi dan nenek dalam video tersebut, FMOT kami berubah menjadi kurang nyaman. Branding toko roti tersebut yang mungkin selama ini dipersepsikan sebagai "hangat", "lezat", dan "untuk keluarga", seketika berubah menjadi "dingin", "kaku".
Janji merek (Brand Promise) dari sebuah toko roti biasanya adalah kenyamanan dan kehangatan. Ketika kasir menolak uang tunai, mereka melanggar janji tersebut. Dalam kasus saya, saya tidak lagi melihat brand tersebut sebagai penyedia roti dengan aroma kopi yang bikin nagih, melainkan sebagai brand yang "ribet" dan "kaku" dan jika persepsi ini tertanam kuat di alam bawah sadar, jauh lebih kuat daripada iklan baliho manapun, dampaknya jelas pada penurunan penjualan.

Bahaya "The Silent Customer" (Pelanggan yang Diam)

Ilustrasi Bahaya "The Silent Costumer" (Gemini)
Ilustrasi Bahaya "The Silent Costumer" (Gemini)
Inilah poin paling kritis dari pengalaman saya. Saat saya ditolak karena membawa uang tunai, saya tidak marah-marah. Saya tidak meminta manajer keluar. Saya tidak membuat video TikTok (saat itu). Saya hanya diam dan Saya memilih untuk pergi dan membeli di tempat lain.
Dalam teori kepuasan pelanggan, Silent Customer adalah kelompok yang paling berbahaya. Statistik menyebutkan bahwa untuk setiap 1 pelanggan yang komplain, ada 26 pelanggan lain yang tidak puas namun tetap diam. Mereka diam, tapi mereka melakukan hukuman yang paling mematikan bagi bisnis atau biasa disebut Churn (Berhenti Berlangganan/Membeli).
Saya bukan loyal customer gerai tersebut, namun saya adalah potential loyal customer. Dengan insiden itu, saya tidak pernah kembali lagi ke sana. Bayangkan jika ribuan orang melakukan hal yang sama, diam-diam kecewa dan diam-diam tidak pernah kembali. Ini adalah "kanker" bagi sustainability bisnis. Manajemen mungkin melihat laporan keuangan dan bertanya-tanya, "Kenapa traffic turun?" tanpa menyadari bahwa kebijakan merekalah penyebabnya.

Dari ZMOT hingga Negative Advocacy

Ilustrasi ZMOT hingga negative advocacy (Gemini)
Ilustrasi ZMOT hingga negative advocacy (Gemini)
Di era digital, Zero Moment of Truth (ZMOT), momen di mana orang mencari tahu tentang produk secara online sebelum membeli, kini dipenuhi oleh jejak digital yang kurang bagus. Video viral nenek tersebut telah mengubah ZMOT bagi ribuan calon pelanggan lain.
Sebelum orang memutuskan membeli roti di sana, mereka akan teringat video tersebut. Ini menciptakan Negative Advocacy. Alih-alih pelanggan merekomendasikan produk (positive advocacy), mereka malah memperingatkan orang lain atau menjadi bahan satir, "Jangan beli di sana kalau gak punya QRIS"
Viralitas video tersebut menunjukkan betapa rapuhnya reputasi brand. Manajemen mungkin berdalih bahwa ini hanya SOP, tapi publik melihatnya sebagai ketidakpekaan sosial. Permintaan maaf (PR Crisis Management) memang sudah dilakukan, namun trust (kepercayaan) ibarat kertas, sekali diremas, sulit untuk kembali mulus sempurna.

Human Touch dalam Branding

Ilustrasi Human Touch dalam branding (Gemini)
Ilustrasi Human Touch dalam branding (Gemini)
Branding di sektor F&B (Food and Beverage) dan ritel sangat bergantung pada interaksi manusia. Kebijakan manajemen yang kaku mengubah staf garda depan (frontliners) menjadi robot yang tidak memiliki empati. Padahal, brand equity seringkali dibangun dari senyuman kasir dan kemudahan transaksi. Dengan memberi arahan staf menolak uang tunai, manajemen secara tidak langsung merusak aset human capital mereka sendiri, membuat staf menjadi sasaran kemarahan publik, padahal mereka hanya menjalankan perintah. Ini menciptakan atmosfer kerja yang buruk yang pada akhirnya kembali merugikan brand image.
Tulisan lainnya
Social Media
kontak yeTerangkat
yuhuuuterangkat@gmail.com
-
yeTerangkat
tempat ide ketemu hati nurani dan ditulis!
-
yeTerangkat, tempat ide ketemu hati nurani dan ditulis!