Berontak Pakai Logika dan Sujud Pakai Hati : SENARTOGOK feat GUSDUR - TAUBA RMX (LIRIK)

Berontak Pakai Logika dan Sujud Pakai Hati : SENARTOGOK feat GUSDUR - TAUBA RMX (LIRIK)

Berontak Pakai Logika dan Sujud Pakai Hati : SENARTOGOK feat GUSDUR - TAUBA RMX (LIRIK)

Ilustrasi Lirik Tauba dari Senartogok
Dibaca normal sekitar 10 menit
oleh Darwadi

Terima kasih kepada Senartogok yang menulis lirik ini, dan pas pertama denger lirik ini, rasanya seperti dilempar ke perpustakaan raksasa. Kata-katanya lari kesana kesini, tabrakan, bikin percikan api dari sejarah, filsafat, sampe doa yang paling sunyi. Ini jelas bukan cuma lirik rap biasa, ini manifesto! Kayak pernyataan sikap dari orang yang lagi gelisah, marah, tapi di saat yang sama lagi nyari Tuhan dengan caranya sendiri.

Buat orang awam, denger lirik dari lagu ini nggak bisa buru-buru, dan kalo perlu juga harus didengerin pelan-pelan, karena tiap barisnya maksa kita buat stop bentar dan mikir. Ada rasa capek, tapi juga ada semangat ngelawan yang berapi-api. Senartogok kayak ngajak kita jalan-jalan dari panggung teater di Eropa, ke demo di China, terus endingnya di sajadah yang sepi.

Di tulisan ini, ktia coba bedah manifesto di lirik ini dan penulis nggak bakal sok tau segalanya, karena referensinya luas banget. Tapi, penulis bakal tulis apa yang "kena" di hati dan pikiran penulis sebagai pembaca biasa. Penulis liat ada tiga fase di sini;
  1. Fase ngerasa asing secara intelektual,
  2. Fase marah sama kondisi sosial-politik, dan
  3. Fase pasrah (spiritual).

Bagian 1: Beratnya Jadi Orang yang Mikir

Ilustrasi beratnya orang mikir (Gemini)
Ilustrasi beratnya orang mikir (Gemini)
Liriknya dibuka sama kalimat yang langsung bikin jarak: "Aku berangkat dari daratan tertinggal Henrik Ibsen." Henrik Ibsen itu penulis drama yang sering ngomongin orang yang ngelawan kemunafikan masyarakat. Dari sini aja, penulis nangkep kalau penulisnya ngerasa "asing". Senartogok nggak cocok sama lingkungan sekitarnya. Dia ngerasa ketinggalan, atau malah dia yang ninggalin kerumunan.

Kalimat "Memikul bongkahan batu tak berujung secara nomaden" ngingetin aku sama mitos Sisifus, orang yang dihukum dewa dorong batu ke atas bukit, jatuh lagi, dorong lagi, gitu terus selamanya. Tapi di sini, dia ngelakuinnya sambil pindah-pindah alias "nomaden". Buat penulis, ini gambaran nasib orang yang milih jalan mikir kritis. Nanya segala hal itu capek, lho. Rasanya kayak bawa beban berat yang nggak ada abisnya. Kita nanya "kok gini?", dapet jawaban, eh jawaban itu bikin pertanyaan baru lagi. Nggak ada tempat istirahat yang enak buat pikiran yang kritis.

Ada bagian yang "jleb" banget buat penulis, "Keesaan diri atas revaluasi makna yang diaransemen." Simpelnya, Senartogok nyoba definisiin ulang apa itu "benar" dan "salah" pake otaknya sendiri, bukan cuma ikut kata orang. Ini sombong tapi berani. Dia nolak harmoni palsu. Kalau harmoni artinya harus diem liat ketidakadilan, dia milih "luka dan cita anti-harmonisasi."

Penulis sendiri sering ngerasa gini, di jaman sosmed sekarang, kita sering dipaksa setuju sama "suara mayoritas". Kalau beda dikit, dianggap aneh atau diserang. Lirik ini mewakili perasaan mereka yang milih jalan sunyi itu. Jadi "Subyek imanen", jadi manusia yang sadar dia ada di sini dan saat ini, ternyata butuh nyali gede.

Terus soal Søren (Kierkegaard) dan Regina Olsen, itu juga menarik. Kierkegaard itu filsuf yang mutusin tunangannya, Regina, biar bisa fokus mikir dan ngejar Tuhan. Ini pengorbanan perasaan demi sesuatu yang diyakini lebih tinggi. Lirik ini kayak nanya ke penulis: "Apa yang berani kamu korbanin demi prinsip hidupmu?"

Bagian 2: Marah sama Dunia yang Dangkal

Ilustrasi marah sama dunia yang dangkal (Gemini)
Ilustrasi marah sama dunia yang dangkal (Gemini)
Masuk ke tengah, liriknya jadi lebih ngegas dan politis. Senartogok nggak cuma galau batin, tapi mulai nunjuk-nunjuk realitas sosial di sekitarnya.

Senartogok nyebut "Ternak" sama "Domba modern". Pedes banget sindirannya. Kita hidup di jaman di mana banyak orang cuma ikut arus. Sekolah, kerja, beli barang nggak penting, terus mati. Kayak domba yang digiring aja. Penulis kangen semangat "pelajar Zengakuren" (gerakan mahasiswa radikal di Jepang) atau nyali buat berdiri di "lapangan Tiananmen".

Bagian ini nampar banget sih. "Kemiskinan hidup mahasiswa yang bermimpi menjadi agen." Dulu, mahasiswa dianggap "agen perubahan". Sekarang? Lirik ini nyindir tajem: "Lupakan Cordoba jika Dita Indah menjadi selebritis parlemen." Cordoba itu simbol puncak kejayaan ilmu dulu. Tapi hari ini? Panggung politik kita isinya selebritis atau orang yang cari tenar doang, bukan pemikir atau pejuang rakyat. Politik jadi dangkal banget.

Ada satu baris yang menurut penulis inti kritik sosialnya,
"Menjadi ternak atau mengorganisir mimpi menjadi armamen."

Ini pilihan, guys. Kita mau jadi ternak (diem, nurut, disembelih) atau mau jadiin mimpi kita sebagai "armamen" (senjata/kekuatan)? "Senjata" di sini bukan pistol atau bom ya, tapi pengetahuan, keberanian, sama pengorganisiran diri.

Senartogok juga nyinggung "Teori akan terus tenggelam dalam kesibukan bangunan Sunken." (Mungkin maksudnya Sunken Court di ITB). Penulis nangkepnya gini, di kampus atau tempat diskusi pun, teori-teori keren seringkali cuma jadi omong kosong yang kelelep sama kesibukan nggak penting, atau sekadar gaya-gayaan. Intelektualitas mati, kalah sama gaya hidup.

Lirik ini kayak marahin kita yang ngaku "kaum terdidik". Sekolah tinggi, baca banyak buku, eh ujungnya cuma jadi sekrup kecil di mesin industri (kayak dibilang di baris "memutus sekrup derek katrol Omen"). Kita kehilangan daya kritis karena sibuk amanin posisi masing-masing.

Kalimat "Lebih baik memperjuangkan keluarga, hidup, dan sekitar secara konsisten" kedengeran kayak kepasrahan yang realistis, atau malah sindiran sarkas? Apa itu pilihan terbaik? Atau itu pelarian karena kita gagal ngubah dunia yang lebih gede? Penulis ngerasa Senartogok lagi lempar dilema itu ke muka kita.

Bagian 3: Santri Tanpa Pesantren dan Jalan Pulang

Ilustrasi santri tanpa pesantren dan jalan pulang (Gemini)
Ilustrasi santri tanpa pesantren dan jalan pulang (Gemini)
Di tengah segala amarah dan filsafat Barat yang berat, tiba-tiba muncul referensi Islam dan Sufisme. Keren banget sih.

Nyebutin "Fariduddin Attar" dan "Musyawarah Burung" itu penting banget. Attar itu penyair sufi yang nulis soal perjalanan burung-burung nyari rajanya, yang ternyata diri mereka sendiri. Tapi Attar mati dipenggal tentara Mongol.

Buat penulis, ini gambarin benturan antara kehalusan spiritual sama kekejaman dunia fisik. Orang bijak bisa aja mati di tangan orang jahat. "Tujuh lembah yang disusuri" itu tahapan perjalanan spiritual sufi. Penulis ngaku lagi nyusuri lembah itu, tapi statusnya unik, "Sebagai santri tanpa kiyai tanpa pesantren."

Penulis relate banget sama kalimat ini. Hari ini, banyak dari kita yang haus spiritualitas tapi kecewa sama institusi agama. Agama sering dijadiin alat politik atau bisnis. Kita pengen deket Tuhan, tapi nggak nemu damai di ormas atau lembaga formal. Jadinya, kita jadi "santri tanpa pesantren". Belajar dari buku, dari pengalaman hidup, dari nasib, nyari Tuhan di jalanan, bukan di gedung mewah.

Ini cara beragama yang sunyi dan personal. Senartogok nggak butuh pengakuan orang kalau dia saleh. Senartogok nggak butuh label "ustaz". Dia cuma butuh Tuhan.

Doa Abu Nawas sebagai Puncak Kesadaran


Puncaknya ada di Chorus. Abis teriak-teriak soal Nietzsche, Kierkegaard, Tiananmen, dan perlawanan, lirik ini ditutup sama syair I’tiraf (pengakuan) yang terkenal banget, yang sering diputer di masjid dan dipopulerin Gus Dur.

"Ilaahii lastu lil firdausi ahlaan..."
(Wahai Tuhanku, aku nggak pantes jadi penghuni surga-Mu...)
"Wa laa aqwaa ‘alaa naaril jahiimi..."
(Tapi aku juga nggak kuat nahan panasnya api neraka-Mu...)

Transisi ini bikin merinding. Bayangin, orang yang tadi garang, pinter, sombong sama argumen filsafatnya, tiba-tiba bersimpuh nggak berdaya.

Ini ngajarin satu hal penting, Setinggi apa pun ilmu kita, sekeras apa pun kita ngelawan ketidakadilan dunia, ujung-ujungnya kita cuma manusia yang banyak dosa dan lemah di hadapan Tuhan. Pinter doang nggak nyelamatin kita dari rasa takut akan akhirat. Filsafat nggak bisa gantiin kerendahan hati.

Buat penulis, penutup ini bukan tanda kalah. Justru ini kemenangan. Menang lawan ego sendiri. Abis capek "mikul batu tak berujung" dan "ngeludahin nisan leluhur", penulis sadar dia butuh tempat pulang. Dia butuh ampunan.

Lirik ini tuh potret manusia modern yang utuh. Kita punya otak yang pengen terus nanya dan berontak, kita punya amarah liat dunia nggak adil, tapi kita juga punya hati yang rindu buat bersujud.

Baca lirik ini ngingetin penulis buat nggak sombong kalau punya ilmu dikit. Ngingetin buat tetep kritis liat ketidakadilan, jangan mau jadi "ternak". Tapi yang paling penting, ngingetin kalau di ujung semua pencarian dan debat, yang kita butuhin cuma belas kasih Tuhan.

Simpelnya, lirik ini bilang: "Silakan kamu baca semua buku filsafat, silakan demo di jalanan, tapi jangan lupa kamu itu cuma debu yang butuh ampunan-Nya." Dan buat penulis, itu pesen yang indah dan nenangin.
Tulisan lainnya
Social Media
kontak yeTerangkat
yuhuuuterangkat@gmail.com
-
yeTerangkat
tempat ide ketemu hati nurani dan ditulis!
-
yeterangkat.