Drama Bokeper Bonnie Blue: Ketika \"Subscribe\" Jadi Jawaban Segala Masalah

Drama Bokeper Bonnie Blue: Ketika "Subscribe" Jadi Jawaban Segala Masalah

Drama Bokeper Bonnie Blue: Ketika "Subscribe" Jadi Jawaban Segala Masalah
Ilustrasi Subscribe (pexels.com/@markus-winkler-1430818/)
Dibaca normal sekitar 5 menit
oleh Darwadi

Asik niii,,, belum apa-apa udah diminta subsribe, BoKeP lho! Sebenarnya yang bikin rada ngga abis pikir itu vibes si Bonnie Blue yang selow di depan aparat! Nggak tanggung-tanggung, dia malah bilang, "Subscribe saja kalau mau tahu."

1. Panggung Sandiwara ala Bonnie Blue

Ilustrasi Panggung Sandiwara (pexels.com/@monica/)
Ilustrasi Panggung Sandiwara (pexels.com/@monica/)
Jadi gini, kalau kita pinjam kacamata Erving Goffman (ada di buku Littlejohn bab 3), hidup ini panggung sandiwara. Kita semua aktor.

Pas diperiksa polisi, harusnya kan orang takut, nunduk, atau minta maaf. Itu "peran" standar orang yang lagi berhadapan sama hukum. Tapi Bonnie? Dia nolak peran itu! Dia nggak mau jadi "tersangka yang ketakutan". Dia milih tetap jadi "Bintang OnlyFans" bahkan di kantor polisi.

Sikap santainya itu sebenernya akting atau manajemen kesan. Dia sadar lagi ditonton banyak orang lewat berita. Kalau dia kelihatan takut, rusak dong image dia sebagai cewek bebas dan berani.

Kalimat sakti "Subscribe saja" itu strategi jenius. Dia membalikkan situasi, dari interogasi hukum jadi ajang promosi! Dia mau bilang, "Hei, dunia gue itu di internet, bukan di kantor polisi ini."

2. Benturan Budaya: Sopan Santun vs. Kebebasan Gue

Ilustrasi Benturan Budaya (pexels.com/@pixabay/)
Ilustrasi Benturan Budaya (pexels.com/@pixabay/)
Lanjut ke soal budaya. Di teori Stella Ting-Toomey soal negosiasi identitas, kita selalu tarik-uluran antara siapa kita menurut orang lain (tersangka pornografi) vs siapa kita menurut diri sendiri (kreator konten). Bonnie jelas keukeuh sama definisinya sendiri.

Terus ada juga teori "Wajah" (Face-Negotiation). Di budaya kita (termasuk Bali), kalau sama polisi ya harus hormat, jaga harmoni, "menyelamatkan wajah" penguasa. Itu norma sopan santunnya.

Tapi Bonnie ini gayanya Barat banget, individualis abis. Dia nggak peduli sama harmoni sosial atau wibawa polisi. Yang dia pedulikan cuma "wajah"-nya sendiri di depan subscribers-nya. Makanya dia berani nantang.

Ini namanya gegar budaya. Polisi nanya pakai aturan hukum, Bonnie jawab pakai aturan influencer (bayar dulu baru lihat). Jelas nggak nyambung, tapi justru itu yang bikin heboh.

3. Semua Demi Konten (dan Cuan!)

Ilustrasi Konten (pexels.com/@pixabay/)
Ilustrasi Konten (pexels.com/@pixabay/)
Sadar nggak sih, sekarang apa-apa jadi konten? Neil Postman pernah bilang di teori Ekologi Media, teknologi itu mengubah cara kita mikir.

Buat Bonnie, OnlyFans bukan cuma aplikasi, tapi cara pandang. Di kepalanya, "intimidasi hukum" itu cuma gangguan kecil dalam produksi konten, atau malah bisa jadi plot twist yang bikin videonya makin laku.

Pas dia bilang "Subscribe saja", itu bukti kalau logika media sosial udah masuk ke ranah hukum. Rasa penasaran orang itu ladang duit. Dia tahu banget, berita buruk pun bisa jadi cuan kalau traffic-nya diarahkan ke link dia. Cerdas, tapi ngeri juga!

4. Sisi Gelap Pikiran: Hasrat vs. Aturan

Ilustrasi Sisi Gelap Pikiran (pexels.com/@marko-garic-37075526/)
Ilustrasi Sisi Gelap Pikiran (pexels.com/@marko-garic-37075526/)
Nah, biar makin dalem, kita ulas dikit sisi psikoanalis Freud sama Lacan

Bayangin Bonnie itu Id, sisi liar kita yang mau seneng-seneng aja, bebas, dan nggak peduli aturan. OnlyFans itu surganya Id. Nah, Polisi dan Hukum itu Superego, suara bapak-bapak galak yang bilang "Nggak boleh!", "Itu dosa!", "Itu melanggar aturan!".

Kenapa sikap Bonnie bikin gregetan? Karena dia nggak merasa bersalah! Biasanya kan Superego menang karena bikin kita merasa berdosa. Pas Bonnie santai aja, wibawa hukum jadi kayak "telanjang". Kita yang nonton jadi deg-degan, cemas, atau diam-diam malah kagum karena dia berani ngelawan aturan yang mengekang kita semua.

Terus soal "Subscribe" tadi. Lacan punya konsep soal "Siapa yang pegang pengetahuan". Biasanya Polisi atau Hakim yang tahu salah/benar. Tapi di sini, Bonnie membalik posisi itu. Dia bilang, "Gue yang pegang kuncinya (kontennya). Kalau kalian (polisi/masyarakat) mau tahu isinya, ya bayar!"

Jadi, siapa yang sebenernya "mengintip"? Polisi menatap Bonnie pakai tatapan hukum. Bonnie membalas dengan tatapan bisnis: "Kalian cuma pengintip yang belum bayar tiket."

5. Siapa vs. Siapa?

Ilustrasi siapa vs. siapa (pexels.com/@didsss/)
Ilustrasi siapa vs. siapa (pexels.com/@didsss/)
Intinya, kasus Bonnie Blue di Bali ini bukan sekadar kriminal biasa. Ini benturan dua dunia.
  1. Dunia Lama: Hukum negara, sopan santun, ketertiban.
  2. Dunia Baru: Digital, bebas tanpa batas, apa-apa diduitin.
Sikap santai Bonnie mungkin strategi dia buat bertahan hidup. Di dunia digital, image adalah aset. Kalau dia malu, asetnya turun harga.Jadi, kejadian ini ngajarin kita kalau di zaman now, batas hukum negara makin kabur lawan warga digital. Pertarungannya bukan lagi soal salah atau benar, tapi soal siapa yang lebih kuat memegang kendali cerita, palu hakim atau tombol subscribe?

Sumber
detik.com, 2025, https://www.detik.com/bali/hukum-dan-kriminal/d-8253056/bonnie-blue-santai-diperiksa-soal-konten-porno-subscribe-saja-kalau-mau-tahu

Littlejohn, Stephen W, Foss, Karen A, Oetzel, John G, Theories of Human Communication 11th Edition, Waveland Press Inc, 2016




Tulisan lainnya
Social Media
kontak yeTerangkat
yuhuuuterangkat@gmail.com
-
yeTerangkat
tempat ide ketemu hati nurani dan ditulis!
-
yeterangkat.