5 Langkah Menghitung Ulang Neraca Bencana

5 Langkah Menghitung Ulang Neraca Bencana

5 Langkah Menghitung Ulang Neraca Bencana
Ilustrasi birokrasi (pexels.com/@nietjuhart/)
Dibaca normal sekitar 10 menit
oleh Darwadi

Pernyataan Menteri Lingkungan Hidup (LH)/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Hanif Faisol Nurofiq, pada awal Desember 2025 ini memberikan sinyal yang tidak bisa diabaikan, perubahan iklim adalah realitas yang menggigit, dan "business as usual" dalam tata kelola lingkungan yang tidak lagi dapat diterima. Langkah Menteri LH untuk mengevaluasi kembali persetujuan lingkungan, termasuk AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), merupakan respons reaktif sekaligus korektif terhadap rentetan bencana hidrometeorologi yang melanda berbagai wilayah di Indonesia, dari Sumatera hingga Kalimantan.

Namun, respons kebijakan ini tidak boleh berhenti pada audit administratif semata. Dalam perspektif komunikasi perubahan sosial, khususnya yang diuraikan oleh Mohan J. Dutta dan Dazzelyn B. Zapata dalam buku Communicating for Social Change: Meaning, Power, and Resistance, kebijakan lingkungan sering kali terjebak dalam struktur kekuasaan top-down yang meminggirkan suara mereka yang paling terdampak.

Tulisan ini berargumen bahwa evaluasi izin lingkungan harus bertransformasi menjadi proses yang radikal dan demokratis. Izin tidak boleh lagi sekadar "tiket" bagi korporasi untuk beroperasi, melainkan sebuah kontrak sosial yang ketat yang melibatkan pemerintah pusat, penggiat lingkungan, pemerintah daerah, dan yang terpenting, warga lokal. Urgensi ini didasarkan pada fakta ekonomi dan kemanusiaan yang brutal, warga lokal adalah korban pertama (first responders and first victims) dari setiap bencana ekologis, dan biaya pemulihan (recovery cost) pascabencana kini terbukti jauh melampaui nilai modal yang ditanamkan oleh perusahaan ekstraktif tersebut.

1. Kritik Terhadap Pembangunan Neoliberal: Membaca Ulang Izin Lingkungan

Ilusrasi kritik (unsplash.com/@markusspiske)
Ilusrasi kritik (unsplash.com/@markusspiske)
Dalam buku Communicating for Social Change, Dutta (2019) mengkritik keras model pembangunan neoliberal yang sering kali menempatkan pertumbuhan pasar di atas kesejahteraan komunitas lokal. Dalam konteks Indonesia, persetujuan lingkungan sering kali direduksi menjadi hambatan birokrasi yang harus "dipermudah" demi investasi. Narasi "kemudahan berinvestasi" ini secara sistematis membungkam risiko-risiko ekologis yang nyata.

Ketika Menteri LH menyatakan bahwa "perubahan iklim nyata terjadi" dan izin harus dievaluasi, ini adalah pengakuan implisit bahwa mekanisme perizinan kita selama ini gagal memprediksi atau memitigasi risiko tersebut. Menggunakan lensa Culture-Centered Approach (CCA) yang dibahas dalam buku tersebut, kita bisa melihat bahwa kegagalan ini terjadi karena perizinan lingkungan di Indonesia sering kali disusun dalam ruang-ruang tertutup para ahli dan birokrat, yang jauh dari realitas lived experience (pengalaman hidup) masyarakat lokal.

Persetujuan lingkungan selama ini sering kali hanya menjadi dokumen teknis yang "steril", yang memisahkan aktivitas ekonomi perusahaan dari dampak sosial-ekologisnya. Padahal, seperti yang ditekankan dalam bab mengenai Structural Violence (Kekerasan Struktural), keputusan administratif yang mengabaikan suara lokal adalah bentuk kekerasan yang terlembaga. Ketika izin diberikan tanpa partisipasi substantif warga yang tinggal di hilir sungai atau di kaki bukit, negara pada dasarnya sedang melegalkan potensi kekerasan lingkungan terhadap tubuh dan ruang hidup mereka.

2. Suara dari Bawah Tanah: Belajar dari Kegagalan Masa Lalu

Ilustrasi suara dari bawah (unsplash.com/@markusspiske)
Ilustrasi suara dari bawah (unsplash.com/@markusspiske)
Bab 4 dalam buku terlampir, "Development Communication and the Dialogic Space: Finding the Voices Under the Mines" oleh Christele J. Amoyan dan Pamela A. Custodio, memberikan cerminan yang mengerikan namun relevan bagi konteks Indonesia saat ini. Studi kasus mereka mengenai komunitas nelayan di Teluk Calancan, Marinduque, Filipina, yang hancur akibat limbah tambang, menunjukkan pola yang serupa dengan apa yang kita lihat di banyak wilayah tambang di Indonesia.

Di Marinduque, suara warga lokal dibungkam atas nama "pembangunan nasional" dan "investasi asing". Izin operasi diberikan, limbah dibuang, dan ketika bencana terjadi, perusahaan sering kali memiliki mekanisme hukum dan finansial untuk melindungi aset mereka atau bahkan kabur, meninggalkan kerusakan permanen. Warga lokal tidak memiliki exit strategy; mereka terikat pada tanah dan air yang telah diracuni.

Dalam konteks evaluasi izin yang dicanangkan Menteri Hanif, kita harus mengadopsi prinsip listening (mendengarkan) yang radikal. Pemerintah tidak bisa hanya mengevaluasi dokumen di atas meja di Jakarta. Evaluasi harus turun ke tapak. Apakah AMDAL yang disusun 5 atau 10 tahun lalu masih relevan dengan kondisi iklim hari ini? Apakah janji-janji mitigasi bencana yang tertulis dalam dokumen RKL-RPL (Rencana Pengelolaan Lingkungan - Rencana Pemantauan Lingkungan) benar-benar dijalankan?

Sering kali, hanya warga lokal yang tahu kebenarannya. Merekalah yang melihat perubahan warna sungai setiap hari, merasakan debu yang semakin tebal, atau mengamati pola longsor yang berubah. Jika evaluasi ini tidak melibatkan mereka sebagai stakeholder utama, maka evaluasi ini hanya akan menjadi kosmetik birokrasi belaka.

3. Kalkulasi Ekonomi Baru: Biaya Pemulihan vs Modal Perusahaan

Ilustrasi Kalkulasi Ekonomi Baru (unsplash.com/@markusspiske)
Ilustrasi Kalkulasi Ekonomi Baru (unsplash.com/@markusspiske)
Argumen paling pragmatis untuk memperketat izin lingkungan dan melibatkan banyak pihak dalam prosesnya adalah argumen ekonomi. Narasi lama selalu membenturkan "lingkungan vs ekonomi", seolah-olah menjaga lingkungan akan menghambat pertumbuhan. Namun, realitas bencana iklim hari ini membalikkan logika tersebut.

Mari kita hitung dengan jujur. Modal yang dikeluarkan sebuah perusahaan perkebunan atau pertambangan untuk membuka lahan mungkin mencapai ratusan miliar atau triliun rupiah. Namun, ketika operasi mereka memicu banjir bandang atau tanah longsor yang meluluhlantakkan satu kabupaten, biaya pemulihannya menjadi eksponensial.

Kerugian Langsung, Hancurnya infrastruktur publik (jalan, jembatan, jaringan listrik) yang dibangun menggunakan uang pajak rakyat (APBN/APBD).

Kerugian Ekonomi Masyarakat, Hilangnya lahan pertanian produktif, ternak, dan rumah warga yang tidak diasuransikan. Warga lokal yang jatuh miskin akibat bencana menjadi beban sosial jangka panjang bagi negara.

Biaya Pemulihan Ekosistem, Merehabilitasi hutan yang gundul atau sungai yang tercemar merkuri membutuhkan waktu puluhan tahun dan biaya yang sering kali tidak terhingga.

Sering kali, biaya-biaya ini dieksternalisasi. Artinya, perusahaan mengambil keuntungan (privatisasi profit), sementara risiko dan biaya bencana ditanggung oleh publik (sosialisasi kerugian).

Dalam konteks ini, pelibatan pemerintah daerah menjadi krusial. Pemerintah daerah sering kali berada dalam posisi dilematis, di satu sisi ditekan pusat untuk menarik investasi, di sisi lain mereka yang harus membersihkan lumpur saat banjir datang. Evaluasi izin lingkungan harus memberdayakan pemerintah daerah untuk berani berkata "tidak" pada investasi yang berisiko tinggi secara ekologis, dengan dukungan penuh dari pemerintah pusat. Otonomi daerah tidak boleh dimaknai sebagai otonomi untuk merusak, tetapi otonomi untuk melindungi wilayah kelola rakyat.

4. Membangun Ruang Dialogis: Sebuah Keharusan, Bukan Pilihan

Ilustrasi dialog (unsplash.com/@elsbethcat)
Ilustrasi dialog (unsplash.com/@elsbethcat)
Merujuk kembali pada Communicating for Social Change, solusi yang ditawarkan bukanlah sekadar penegakan hukum dari atas ke bawah, melainkan pembentukan "ruang dialogis" (dialogic space). Apa artinya ini bagi kebijakan evaluasi izin lingkungan di Indonesia?

Transparansi Radikal, Dokumen AMDAL dan izin lingkungan harus dapat diakses publik dengan mudah. Ketertutupan informasi adalah awal dari bencana. Penggiat lingkungan dan akademisi tidak bisa memberikan masukan kritis jika data ditutupi atas nama "rahasia dagang".

Partisipasi Bermakna (Meaningful Participation), Konsultasi publik tidak boleh sekadar formalitas menggugurkan kewajiban. Warga lokal harus memiliki hak veto jika sebuah proyek mengancam ruang hidup mereka. Seperti yang ditekankan dalam buku tersebut, partisipasi tanpa redistribusi kekuasaan hanyalah manipulasi.

Aliansi Lintas Sektoral, Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Penggiat lingkungan (NGO) sering kali memiliki data lapangan yang lebih akurat daripada laporan berkala perusahaan. Warga lokal memiliki indigenous knowledge (pengetahuan lokal) tentang tanda-tanda alam yang sering luput dari kajian teknokratis. Sinergi antara Pemerintah (sebagai regulator), NGO (sebagai pengawas), Warga (sebagai pemilik ruang hidup), dan Pemerintah Daerah (sebagai pengelola wilayah) adalah mutlak.

5. Keadilan Iklim sebagai Pondasi Perizinan

Ilustrasi keadilan (unsplash.com/@tingeyinjurylawfirm)
Ilustrasi keadilan (unsplash.com/@tingeyinjurylawfirm)
Langkah Menteri LH untuk mengevaluasi persetujuan lingkungan adalah momentum emas untuk merombak paradigma pembangunan kita. Kita harus bergerak dari paradigma "ekstraktif-eksploitatif" menuju paradigma "regeneratif-berkeadilan".

Bencana iklim tidak lagi menjadi prediksi masa depan; ia sudah ada di depan pintu rumah kita. Warga lokal di pesisir yang tenggelam, petani yang gagal panen karena cuaca ekstrem, dan korban longsor di wilayah pertambangan adalah saksi hidup dari kegagalan sistem perizinan yang kuno.

Menuntut aturan main yang jelas dan pelibatan banyak pihak bukanlah upaya menghambat investasi. Justru, ini adalah upaya menyelamatkan ekonomi negara dari kebangkrutan akibat biaya bencana. Jika modal perusahaan tidak sanggup menanggung risiko pemulihan lingkungan yang mereka rusak, maka izin operasi tersebut, secara moral dan ekonomi, tidak layak diterbitkan.

Negara harus hadir bukan sebagai pelayan modal, tetapi sebagai pelindung segenap tumpah darah Indonesia. Evaluasi izin lingkungan ini harus menjadi bukti bahwa keselamatan rakyat dan kelestarian alam adalah hukum tertinggi di republik ini.

Referensi:

Dutta, M. J., & Zapata, D. B. (Eds.). (2019). Communicating for Social Change: Meaning, Power, and Resistance. Palgrave Macmillan. (Khususnya Bab 1, 4, dan 17).

Kompas.com, 2025, https://medan.kompas.com/read/2025/12/07/084628978/menteri-lh-perubahan-iklim-nyata-terjadi-persetujuan-lingkungan-dievaluasi
Tulisan lainnya
Social Media
kontak yeTerangkat
yuhuuuterangkat@gmail.com
-
yeTerangkat
tempat ide ketemu hati nurani dan ditulis!
-
yeterangkat.