Dua Wajah, Satu Cermin : Tragedi Christchurch dan Bondi

Dua Wajah, Satu Cermin : Tragedi Christchurch dan Bondi

Dua Wajah, Satu Cermin : Tragedi Christchurch dan Bondi
Ilustrasi Dua Wajah, Satu Cermin (Gemini)
Dibaca normal sekitar 13 menit
oleh Darwadi


Tragedi kemanusiaan sering kali datang dengan wajah yang berbeda namun memiliki DNA yang identik. Di satu sisi, kita dihadapkan kembali pada luka lama dari serangan teror Christchurch pada tahun 2019, yang kini dinarasikan ulang melalui temuan investigasi terbaru. Di sisi lain, kita dikejutkan oleh peristiwa berdarah di Bondi pada akhir tahun 2025, di mana serangan terhadap perayaan Hanukkah mengguncang Australia. Kedua peristiwa ini, meskipun dipisahkan oleh waktu dan ideologi permukaan yang berbeda, yang satu berakar pada supremasi kulit putih, dan yang lainnya pada ekstremisme berbasis agama yang terhubung dengan jaringan radikal di Filipina dan sejatinya adalah manifestasi dari penyakit yang sama, apakah itu? penyakit eksternal dan internal, penyakit yang obatnya ada di semua pihak.

Kedua berita ini, baik dari Radio New Zealand (RNZ) maupun The Sydney Morning Herald (SMH), membawa kita pada satu kesimpulan yang tidak nyaman, bahwa narasi "Lone Wolf" (pelaku tunggal) adalah mitos yang meninabobokan, dan bahwa setiap pelaku teror adalah produk dari sebuah ekosistem. Mereka adalah "anak-anak" dari radikalisasi yang sistematis, korban dari bias konfirmasi media mereka sendiri, dan pemberontak yang tersesat dalam melawan realitas yang mereka anggap tidak adil.

Opini ini mencoba melihat bagaimana radikalisasi bekerja bukan sebagai insiden isolasi, melainkan sebagai sebuah perjalanan pencarian identitas yang terdistorsi oleh konsumsi media yang selektif, serta mengapa empati dan toleransi bukan sekadar jargon klise, (mungkin) satu-satunya antidot bagi racun yang bernama ekstremisme.

Mitos "Lone Wolf" dan Jejaring yang Tak Terlihat

Ilustrasi Mitos Lone Wolf dan Jejaring yang tak terlihat (Gemini)
Ilustrasi Mitos Lone Wolf dan Jejaring yang tak terlihat (Gemini)
Artikel dari RNZ mengenai podcast "Secrets We Keep: Lone Actor" memberikan tamparan keras bagi narasi konvensional yang sering digunakan pasca-serangan "Lone Wolf". Brenton Tarrant, pelaku penembakan Christchurch, selama bertahun-tahun digambarkan sebagai individu yang bertindak sendiri, seolah-olah kebenciannya tumbuh di ruang hampa. Namun, investigasi terbaru menunjukkan bahwa ia adalah simpul dari jaringan global yang jauh lebih besar. Ia tidak bangun di suatu pagi dan memutuskan untuk membenci; kebencian itu dipupuk, disiram, dan diberi makan oleh komunitas daring dan luring yang ia pilih.

Istilah "Lone Wolf" sering kali menyesatkan karena menyiratkan bahwa pelaku terlepas dari pengaruh sosial. Padahal, Tarrant terhubung dengan kelompok-kelompok ekstremis dari Eropa hingga Australia (seperti Lads Society). Ia merayakan kekerasan supremasi kulit putih di Charleston dan mencari validasi dari komunitas yang memiliki visi serupa. Dalam konteks ini, ia bukan serigala yang sendirian; ia adalah bagian dari kawanan yang berburu secara digital.

Hal serupa terlihat dalam kasus serangan Bondi yang diulas oleh SMH, yang menyoroti hubungan antara pelaku dan "jantung radikal" di Filipina. Di sini, koneksinya bahkan lebih fisik. Pelaku (ayah dan anak, Sajid dan Naveed Akram) tidak hanya terpapar ideologi secara daring, tetapi diduga melakukan perjalanan fisik ke wilayah yang memberikan "restu" dan "semangat" bagi ideologi mereka (ISIS). Filipina Selatan, dengan sejarah pemberontakan separatisnya, menjadi echo chamber fisik, dari sebuah ruang gema nyata di mana narasi kekerasan dinormalisasi sebagai bentuk perjuangan suci.

Kedua kasus ini menegaskan bahwa tidak ada ekstremis yang benar-benar sendirian. Mereka selalu memiliki "keluarga" ideologis, baik itu di forum dark web atau di kamp pelatihan terpencil yang memvalidasi perasaan mereka.

Konsumsi Media: Cermin yang Membenarkan Diri

Ilustrasi Konsumsi Media (Gemini)
Ilustrasi Konsumsi Media (Gemini)
Salah satu poin krusial disini itu bagaimana pelaku "memilih dan memilah dalam konsumsi media". Ini adalah inti dari mekanisme menerima dan berinteraksi untuk mendapatkan informasi pada era saat ini. Di era informasi yang melimpah ruah, manusia tidak lagi mencari kebenaran objektif; kita mencari kenyamanan subjektif. Psikologi kognitif menyebutnya sebagai confirmation bias (bias konfirmasi).

Seorang individu yang merasa tersisih, marah, atau tidak diperlakukan adil oleh dunia (misalnya, merasa rasnya terancam punah atau agamanya sedang diperangi) akan secara aktif mencari media yang mendukung narasi tersebut. Tarrant tidak membaca literatur tentang multikulturalisme yang harmonis; ia menyelam ke dalam 4chan dan/atau forum supremasi yang memberitahunya bahwa "imigran adalah penjajah". Pelaku Bondi tidak mengonsumsi berita tentang toleransi antarumat beragama; mereka mencari propaganda yang mengatakan bahwa "Barat sedang memerangi Islam" dan bahwa kekerasan adalah satu-satunya bahasa yang dimengerti musuh.

Media-media "alternatif" ini berfungsi sebagai inkubator. Mereka tidak hanya memberikan informasi; mereka memberikan interpretasi atas realitas. Bagi seorang ekstremis, media mainstream dianggap sebagai alat propaganda musuh (kebohongan sistem), sedangkan media radikal yang mereka konsumsi dianggap sebagai "kebenaran yang terbungkam".

Proses ini menciptakan realitas paralel. Di dalam gelembung informasi ini, tindakan membunuh orang yang tidak bersalah tidak lagi dilihat sebagai kejahatan, melainkan sebagai tindakan pertahanan diri atau kepahlawanan. Algoritma media sosial sering kali memperparah hal ini dengan terus menyodorkan konten yang semakin ekstrem, menarik pengguna lebih dalam ke lubang kelinci radikalisasi. Pelaku menjadi "korban" dari diet informasi mereka sendiri, mereka keracunan oleh asupan kebencian yang mereka pilih untuk telan setiap hari.

Ekstremisme Sebagai Bentuk "Pemberontakan" Terhadap Realitas

Ilustrasi Pemberontakan (Gemini)
Ilustrasi Pemberontakan (Gemini)
Sangat menarik untuk membedah pemikiran bahwa ekstremisme adalah bentuk pemberontakan terhadap realitas yang dianggap tidak adil. Ini adalah pendekatan empatik, bukan untuk membenarkan tindakan mereka, tetapi untuk memahami motif di baliknya.

Hampir semua manifesto teroris, mulai dari Tarrant di Christchurch hingga para jihadis global, memiliki benang merah yang sama, narasi victimhood (keparahan menjadi korban). Mereka tidak melihat diri mereka sebagai penjahat. Dalam kacamata mereka yang terdistorsi, merekalah yang tertindas.

Supremasi kulit putih merasa menjadi korban "Great Replacement" (penggantian populasi), merasa budaya dan eksistensi mereka sedang dihapus oleh sesuatu yang lebih kuat.

Ekstremis religius merasa menjadi korban imperialisme global, sekularisme, atau penindasan terhadap saudara seiman mereka di belahan dunia lain.

Ketika seseorang merasa realitas di sekitarnya tidak adil, ketika mereka merasa nilai-nilai yang mereka anut diinjak-injak oleh sistem, mereka mencari jalan keluar. Bagi mayoritas orang, jalan keluarnya mungkin aktivisme damai, politik, atau dialog. Namun, bagi mereka yang rentan dan terpapar narasi radikal, jalan keluarnya adalah "pemberontakan total".

Kekerasan, dalam pandangan ini, adalah upaya putus asa untuk "memperbaiki" dunia. Mereka membunuh karena mereka percaya itu adalah satu-satunya cara untuk menghentikan apa yang mereka anggap sebagai kejahatan yang lebih besar. Ini adalah tragedi moral yang mendalam, keinginan untuk menegakkan "keadilan" versi mereka justru melahirkan ketidakadilan yang paling purba, penghilangan nyawa manusia. Paradoks inilah yang membuat ekstremisme begitu sulit dimatikan. Selama ada ketidakadilan (nyata atau persepsi) dan selama ada narasi yang membingkai kekerasan sebagai solusi, "pemberontakan" ini akan terus menemukan pengikutnya.

Paradoks Ekstremis: Lingkaran Setan yang Abadi

Ilustrasi Lingkaran Setan yang Abadi (Gemini)
Ilustrasi Lingkaran Setan yang Abadi (Gemini)
Ekstremis tidak akan hilang di muka bumi dan I\ini adalah paradoks eksistensial manusia. Keinginan untuk memiliki identitas kelompok yang kuat sering kali dibarengi dengan kebutuhan untuk mendefinisikan "musuh".

Tragedi Christchurch dan Bondi menunjukkan hubungan simbiosis yang mengerikan antara dua kutub ekstremisme. Ekstremisme sayap kanan (seperti di Christchurch) sering kali membenarkan tindakannya dengan menunjuk pada bahaya ekstremisme Islam. Sebaliknya, ekstremisme Islam (seperti dalam kasus Bondi) sering kali membenarkan kekerasannya sebagai respons terhadap Islamofobia dan agresi Barat. Keduanya saling memberi makan. Tarrant ingin memicu perang ras; serangan balasannya hanya akan memvalidasi ketakutan kelompok lain, menciptakan siklus kekerasan yang tidak berujung.

Media yang mendukung pemikiran masing-masing pihak memainkan peran sebagai bahan bakar dalam mesin abadi ini. Saat satu pihak menyerang, pihak lain merasa terkonfirmasi ketakutannya, lalu mengonsumsi lebih banyak media radikal, dan akhirnya melahirkan penyerang baru. Ini adalah self-fulfilling prophecy (ramalan yang mewujudkan dirinya sendiri).

Empati dan Toleransi Sebagai Strategi, Bukan Sekadar Nilai

ilustrasi empati itu penting (Gemini)
ilustrasi empati itu penting (Gemini)
Jika keamanan fisik (polisi, intelijen, senjata) hanya bisa memotong ranting ekstremisme, maka empati dan toleransi adalah upaya untuk mencabut akarnya. Namun, "bagaimana caranya?" itu adalah pertanyaan jutaan dolar.

Empati di sini bukan berarti berEmpati pada tindakan teroris. Empati berarti kemampuan untuk memahami mengapa seseorang bisa merasa begitu terasing dan marah sehingga mereka memilih jalan kekerasan. Kita perlu memahami keluhan (grievances) yang mendasari radikalisasi sebelum keluhan itu dibajak oleh ideologi kekerasan.

Pendidikan Literasi Media Kritis pada masyarakat harus diajarkan tidak hanya untuk membaca berita, tetapi untuk memahami mengapa berita itu ditulis dan siapa yang diuntungkan darinya. Kemampuan untuk mengenali bias konfirmasi diri sendiri adalah langkah pertama untuk keluar dari echo chamber.

Ruang Dialog yang Inklusif juga salah satu yang penting karena ekstremisme tumbuh subur dalam isolasi. Ketika kelompok-kelompok yang merasa terpinggirkan tidak memiliki saluran yang sah untuk menyuarakan ketidakadilan yang mereka rasakan, mereka akan mencari saluran tidak sah. Negara dan masyarakat sipil harus menyediakan ruang di mana ketidakadilan bisa dibicarakan tanpa rasa takut, sehingga narasi "pemberontakan" tidak perlu diambil alih oleh kaum radikal.

Humanisasi "Yang Lain" pun perlu, toleransi bukan sekadar membiarkan orang lain ada, tetapi mengakui kemanusiaan mereka sepenuhnya. Program pertukaran budaya, dialog antar agama, dan integrasi sosial yang nyata diperlukan untuk menghancurkan karikatur "musuh" yang dibangun oleh media radikal. Sulit untuk membenci "orang Yahudi" atau "orang Muslim" jika Anda memiliki teman baik dari komunitas tersebut yang berbagi tawa dan air mata dengan Anda.

Kasus Christchurch dan Bondi adalah dua sisi mata uang yang sama. Keduanya adalah produk dari kegagalan kita untuk mendeteksi jaringan kebencian (menanggapinya sebagai lone wolf) dan kegagalan kita untuk mengintervensi sebelum narasi "pemberontakan suci" mengambil alih jiwa seseorang.

Pelaku pada dasarnya adalah individu yang tersesat dalam pencarian makna, yang dimanipulasi oleh media yang mereka pilih sendiri untuk percaya bahwa membunuh adalah tindakan mulia. Mereka adalah pemberontak yang salah arah terhadap realitas yang mereka anggap cacat.

Kita tidak bisa memusnahkan ekstremisme sepenuhnya karena sifat dasar manusia yang tribal dan reaktif terhadap ketidakadilan. Namun, kita bisa mempersempit ruang geraknya. Dengan memperbanyak empati, memahami rasa sakit sebelum ia berubah menjadi benci dan memperkuat toleransi sebagai benteng pertahanan sosial, kita bisa berharap untuk memutus mata rantai radikalisasi ini. Perang melawan teror bukan hanya perang senjata, tetapi perang memperebutkan narasi di dalam pikiran manusia.

Referensi
https://www.rnz.co.nz/news/chch-terror/565567/christchurch-terror-attacks-podcast-questions-lone-wolf-theory

https://www.smh.com.au/world/asia/did-bondi-attackers-find-favour-and-fervour-in-the-philippines-radical-heartland-20251216-p5no4n.html
Tulisan lainnya
Social Media
kontak yeTerangkat
yuhuuuterangkat@gmail.com
-
yeTerangkat
tempat ide ketemu hati nurani dan ditulis!
-
yeterangkat.