Kembalinya Keadaan Alamiah pada Tahun 2025

Kembalinya Keadaan Alamiah pada Tahun 2025

Kembalinya Keadaan Alamiah pada Tahun 2025
Ilustrasi Kembalinya keadaan alamiah 2025 (Gemini)
Dibaca normal sekitar 10 menit
oleh Darwadi

Tahun 2025, sebagaimana digambarkan dalam laporan kaleidoskop Republika, menandai sebuah titik balik yang cukup mencengangkan namun tak terelakkan dalam sejarah politik modern. Fenomena global di mana Generasi Z memimpin protes di lebih dari tujuh puluh negara, mulai dari Makedonia Utara hingga Indonesia, hal ini bukanlah sekadar gelombang ketidakpuasan demokratis biasa. Jika dilihat dari pemikiran filsuf Thomas Hobbes, kejadian ini menunjukkan bahwa perjanjian damai antara rakyat dan negara sudah rusak. Ini adalah ancaman kembalinya manusia ke 'Keadaan Alamiah', yaitu situasi yang disebut Hobbes sebagai Bellum Omnium Contra Omnes yang berarti sebuah perang di mana semua orang melawan semua orang.
Dalam bukunya Leviathan (1651), Hobbes menegaskan bahwa manusia membutuhkan pemimpin kuat yang ditakuti(dihormati) bersama agar tidak saling menyerang. Tanpa itu, perang tidak akan pernah berakhir. Kekacauan global tahun 2025 mulai dari pembakaran gedung hingga jatuhnya korban jiwa, membuktikan ketakutan Hobbes tersebut. Peradaban ternyata sangat rapuh, ia bisa hancur seketika saat pemerintah gagal menjaga ketertiban atau justru berubah menjadi penindas rakyatnya sendiri.
Opini ini akan membahas bagaimana korupsi dan kegagalan negara melindungi warganya membuat anak muda tidak lagi percaya pada pemerintah. Hal ini menyebabkan aturan sosial runtuh dan masyarakat kembali ke keadaan yang kacau.

Pemicu Utama

Ilustrasi Pemicu Utama (Gemini)
Ilustrasi Pemicu Utama (Gemini)
Pemicu utama protes global tahun 2025, menurut artikel Republika adalah korupsi, militerisasi, dan kesulitan ekonomi. Dalam filsafat Hobbes, legitimasi seorang Sovereign (Penguasa/Negara), yang ia sebut sebagai Leviathan, bergantung pada kemampuannya untuk memberikan keamanan dan ketertiban. Orang-orang menyerahkan hak mereka untuk berbuat sesuka hati (demi bertahan hidup) kepada negara. Sebagai gantinya, negara wajib melindungi mereka.
Namun, banyak kasus seperti skandal di Makedonia Utara, nepotisme di Nepal, dan tunjangan mewah DPR di Indonesia, menunjukkan bahwa 'Leviathan' (Negara) sudah berubah. Negara tidak lagi menjadi pelindung yang adil untuk semua orang. Sebaliknya, negara menjadi alat bagi sekelompok kecil elite untuk mengejar kepentingan pribadi (kekuasaan dan kekayaan).
Saat Perdana Menteri Mongolia digulingkan karena borosnya sang putra, atau saat rakyat Spanyol berdemonstrasi melawan PM Pedro Sánchez, ini bukan cuma soal kritik kebijakan biasa. Dalam kacamata Hobbesian, ini adalah tanda bahwa Sovereign telah melanggar hukum alam fundamental, kewajiban untuk melindungi rakyat. Korupsi adalah bentuk pengkhianatan terhadap tujuan pembentukan negara. Ketika negara mencuri dari rakyatnya (melalui korupsi atau kebijakan ekonomi yang mencekik), negara secara efektif menyatakan perang terhadap rakyatnya.
Akibatnya, "rasa takut" (awe) yang seharusnya membuat rakyat patuh kepada hukum menjadi luntur. Rasa takut kepada hukuman negara tergantikan oleh rasa takut akan kemiskinan dan ketidakadilan yang lebih mendesak. Ketika rasa takut kepada Leviathan hilang, pasak yang menahan anarki pun terlepas.

Indonesia 2025

Ilustrasi Indonesia 2025 (Gemini)
Ilustrasi Indonesia 2025 (Gemini)
Peristiwa tewasnya pengemudi ojek online, Affan Kurniawan akibat terlindas kendaraan taktis Brimob, dan balasan massa yang membakar pos polisi serta menjarah kediaman pejabat, adalah representasi visual dari Homo Homini Lupus, manusia adalah serigala bagi sesama manusia.
Menurut Hobbes, negara harus menjadi satu-satunya pihak yang boleh menggunakan kekuatan seperti polisi dan militer agar individu tidak saling menyerang. Namun, insiden 28 Agustus menunjukkan masalah besar, alat kekuatan negara yang seharusnya menjaga warga, justru membahayakan nyawa warga.
Menurut Hobbes, satu-satunya hak yang tidak pernah bisa diserahkan oleh individu kepada negara adalah hak untuk membela diri ketika nyawanya terancam secara langsung. Ketika aparat negara membunuh warga sipil dengan sengaja atau tidak, ikatan kepatuhan warga tersebut kepada negara seketika putus. Mereka kembali ke State of Nature, di mana setiap orang menjadi hakim bagi dirinya sendiri.
Lalu tentang tindakan massa yang membakar gedung pemerintahan di berbagai daerah dan hingga menjarah kediaman Menteri Keuangan Sri Mulyani serta anggota dewan lainnya adalah bukti kembalinya Bellum Omnium Contra Omnes. Dalam keadaan alamiah (tanpa pemerintah kuat), tidak ada yang benar-benar memiliki apa pun; siapa yang paling kuat, dia yang bisa mengambil dan mempertahankan sesuatu.
Penjarahan ini bukan hanya kejahatan, tetapi akibat logis dari hilangnya moral negara. Ketika rakyat melihat para elite menimbun kekayaan di tengah kesulitan umum, mereka merasa perjanjian keadilan (kontrak sosial) sudah dibatalkan. Hobbes mengatakan, tanpa kekuatan penegak hukum yang adil, perjanjian hanyalah kata-kata kosong. Ketika kekuatan itu tumpul atau disalahgunakan, orang-orang kembali menggunakan kekuatan fisik mereka sendiri untuk mendapatkan yang mereka butuhkan.

Gen Z: Agen Chaos atau Pencari Kedaulatan Baru?

Ilustrasi Gen Z (Gemini)
Ilustrasi Gen Z (Gemini)
Peran sentral Gen Z dan simbolisme budaya pop seperti bendera One Piece dalam gerakan ini. Dari sudut pandang konservatif Hobbesian, gerakan ini sangat berbahaya. Hobbes sangat menentang revolusi karena ia percaya bahwa kekuasaan yang buruk sekalipun masih lebih baik daripada kekacauan atau perang saudara.
Bagi Hobbes, keragaman pendapat dan penilaian pribadi tentang apa yang "baik" dan "buruk" adalah sumber konflik. Gen Z, dengan akses informasi tanpa batas dan idealisme yang tinggi, cenderung menilai tindakan pemerintah berdasarkan moralitas pribadi mereka, bukan berdasarkan hukum positif negara. Fragmentasi otoritas ini menjadikan setiap individu atau kelompok merasa berhak menghakimi negara dan ini menjadi resep menuju kekacauan.
Namun, jika kita membaca Hobbes dengan lebih dinamis, kemarahan Gen Z di tahun 2025 dapat dilihat sebagai upaya putus asa untuk membentuk ulang Leviathan. Mereka tidak menginginkan anarki total, namun mereka menuntut akuntabilitas seperti di Gambia dan reformasi komite reformasi kepolisian di Indonesia.
Ini adalah momen krusial transisi. Apakah kekacauan tahun 2025 akan berujung pada pembentukan Sovereign baru yang lebih kuat dan adil, ataukah akan menyeret dunia ke dalam periode State of Nature yang berkepanjangan di mana kehidupan menjadi "sepi, miskin, kotor, brutal, dan pendek"?
Simbolisme "bendera hitam" dan perisai rampasan dari polisi di Nepal menunjukkan bahwa kaum muda sedang mencoba mengambil alih kedaulatan. Dalam vakum kekuasaan, mereka mencoba menjadi Leviathan itu sendiri. Namun, sejarah dan Hobbes memperingatkan bahwa kerumunan tanpa satu pemimpin yang menyatukan tidak akan bisa menjadi Sovereign. Tanpa penyatuan kehendak, gerakan ini berisiko hanya menjadi serangkaian kerusuhan tanpa arah yang menghancurkan struktur sosial yang tersisa.
Melalui kacamata Bellum Omnium Contra Omnes, kita melihat bahwa tahun 2025 adalah tahun di mana ilusi ketertiban runtuh. Pemerintahan di seluruh dunia, termasuk Indonesia, telah gagal memahami inti dari filsafat politik Hobbes, kekuasaan tidak langgeng hanya dengan kekuatan senjata, tetapi dengan pemeliharaan rasa aman rakyat. Ketika negara berubah menjadi ancaman, atau membiarkan korupsi membusukkan jaminan keamanan ekonomi dan fisik, maka kembalinya manusia ke sifat aslinya yang buas adalah sebuah keniscayaan.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 2025 mengajarkan kita bahwa State of Nature bukanlah masa lalu purba yang sudah kita tinggalkan, melainkan jurang yang selalu menganga di balik tipisnya lapisan hukum dan pemerintahan. Gen Z telah menatap ke dalam jurang tersebut, dan kini dunia menunggu, apakah kita akan jatuh ke dalamnya, ataukah kita mampu membangun kontrak sosial baru yang lebih kokoh di atas puing-puing gedung parlemen yang terbakar?
Dari persitiwa-peristiwa yang terjadi pada tahun 2025, Hobbes (mungkin) melihat bahwa 2025 hanyalah lembaran pembuka dari catatan yang baru saja ditulis, dan jalan keluarnya hanya perbaikan yang mendasar, Bagaimana tahun 2026?

Referensi
republika.co.id, 2025, https://news.republika.co.id/berita/t829pw393/2025-tahunnya-anak-muda-mengguncang-pemerintahan-sedunia-part3
Tulisan lainnya
Social Media
kontak yeTerangkat
yuhuuuterangkat@gmail.com
-
yeTerangkat
tempat ide ketemu hati nurani dan ditulis!
-
yeTerangkat, tempat ide ketemu hati nurani dan ditulis!