3 Cara Pandang Content Game yang Rusuh

3 Cara Pandang Content Game yang Rusuh

3 Cara Pandang Content Game yang Rusuh
Ilustrasi Main game (unsplash.com/@florianolv)
Dibaca normal sekitar 10 menit
oleh Darwadi

Komdigi kemarin kumpulin semua publisher besar kayak Tencent, Garena, Nintendo, dan lain-lain cuma buat bahas PP Tunas. Sebuah aturan main baru buat game online biar anak-anak aman! Jelas tujuannya, "perlindungan anak itu garis merah, ya!", Kata Pak Alex Sabar.

Ini yang namanya disrupsi etis. Aturan ini maksa para platform nggak cuma mikirin untung dari gameplay seru, tapi juga mikirin mekanisme keamanan yang canggih! Intinya, kita nggak mau game jadi tempat yang nggak baik buat anak? Dari situ kita coba ulik-ulik aturan ini pakai dua teori legend di Komunikasi Massa.


1. Melihat Pandangan Dunia Pakai Cultivation Theory (Teori Kultivasi) itu gimana?

Ilustrasi main game (unsplash.com/@glenncarstenspeters)
Ilustrasi main game (unsplash.com/@glenncarstenspeters)
Gini, Teori Kultivasi dari George Gerbner ini intinya simpel aja, kalau kita kebanyakan nongkrong di depan layar (main game!) yang isinya rusuh atau kekerasan terus, lama-lama cara pandang kita soal dunia nyata juga ikutan rusuh malah bisa juga rusak! Paparan media yang intens itu pelan-pelan bisa membentuk cara pandang kita.

Konsep Kultivasi di Dunia Game

Komdigi tuh mau banget mencegah kultivasi yang nggak baik buat anak. Logikanya gini, kalau anak heavy player di game yang isinya toxic, scamming, kekerasan, gimana coba dia nggak mikir kalau dunia aslinya juga seseram itu? Gerbner sudah kasih tahu dari dulu,
"Cultivation theory asserts that heavy viewing of television causes viewers to believe that the world is much like the world they see on television." (Baran & Davis, 2014, p. 297).
Artinya sesuai konteks tulisan ini; Makin sering anak main game kekerasan atau yang rusuh-rusuh, makin dia yakin kalau dunia luar itu seperti di gim tadi!


Sindrom Dunia Menakutkan (Mean World Syndrome)

Ini akibatnya, Sindrom Dunia Menakutkan! Anak yang terpapar konten berisiko tinggi bisa jadi:
  1. Gampang banget cemas.
  2. Jadi gampang curigaan!
  3. Mikiiir banget kalau dia bakal jadi korban kekerasan.
Kalau ini terjadi di game, efeknya di dunia nyata, anak-anak bisa jadi sinis dan nggak percaya sama interaksi sosial sehari-hari!


Intervensi Komdigi: Stop Dosis Kekejaman!

Langkah Komdigi dengan PP Tunas itu pas banget buat ngelawan vibe negatif ini:
  1. Verifikasi Usia (IGRS): Ini kayak kunci utama! Anak cuma boleh main game sesuai umur. Tujuannya buat nge-limit "dosis kekejaman" yang diterima si heavy player kecil. Biar nggak cepat-cepat cemas sama dunia nyata!
  2. Moderasi Konten: Ini upaya buat 'membersihkan' vibe game secara total. Biar kurikulum tersembunyi (the hidden curriculum) game itu ngajarin kolaborasi, bukan ketakutan!

2. Mengubah Kelakuan (Attitude) Pakai Social Cognitive Theory (SCT)

Ilustrasi anak main (pexels.com/@goumbik/)
Ilustrasi anak main (pexels.com/@goumbik/)
Oke, kalau Kultivasi itu urusan pikiran (mindset), Teori Kognitif Sosial (SCT) dari Albert Bandura ini bahas soal kelakuan! Teori ini penting banget buat jelasin kenapa anak-anak suka meniru apa yang mereka lihat di game.


Modeling dan Belajar dari Observasi: Tiru yang Baik!

Inti SCT, kita belajar nggak cuma dari coba-coba, tapi dari niru orang lain, si modeling. Di game, modeling itu bisa gamer pro, streamer, atau avatar pemain lain, Bandura sudah bilang:
"The basic idea of social cognitive theory is that people learn through observation—by watching what others do and the consequences that follow." (Baran & Davis, 2014, p. 173).

Penguatan Vikarius (Vicarious Reinforcement): Hadiah yang Menggoda!

Ini bahayanya: Penguatan Vikarius! Kalau anak lihat pemain lain curang, ngomong kasar, atau mengganggu orang, tapi eh dia malah diganjar (menang, naik peringkat, dipuji teman-teman), maka si anak bakal mikir:
  1. "Wih, ini cara baru nih!" (Acquisition).
  2. "Ah, coba ah!" (Performance), karena dia berharap dapat hadiah yang sama!
Contoh paling nyata: loot box yang mirip judi. Anak lihat beli loot box langsung dapat barang keren. Dia belajar kalau perilaku berisiko itu bisa dapat hadiah! Harus bener-bener hati-hati!


Intervensi Komdigi: Self-Control Dulu, Baru Game!

Fokus Komdigi ke Literasi Digital dan Parental Control itu memang sesuai banget sama Bandura! Ini buat mengaktifkan Self-Efficacy (rasa percaya diri) dan Kontrol Eksternal!

1. Literasi Digital (Meningkatkan Rasa Percaya Diri Anak & Orang Tua): Ini bikin anak dan orang tua jadi percaya diri (Self-Efficacy) ngatur media sendiri.
  • Anak: Diajarin buat mengatur diri sendiri (self-regulation), biar tahu kapan harus off, dan berani nolak hal yang nggak baik!
  • Orang Tua: Dikasih ilmu biar nggak bingung, dan merasa mampu menggunakan Parental Control. Ayo, Bapak dan Ibu pasti bisa!
2. Parental Control dan Pembatasan Fitur (Kontrol Eksternal): Ini benteng pertahanan buat modeling yang nggak bener.
  • Batasan chat yang nggak baik atau transaksi berisiko bikin anak nggak punya banyak model negatif buat ditiru. Kalau modeling-nya minim, ya vicarious reinforcement-nya juga nggak jalan.

3. Harmonisasi dan Kolaborasi: Sinergi Itu Kunci!

Ilustrasi kolaborasi (pexels.com/@diohasbi/)
Ilustrasi kolaborasi (pexels.com/@diohasbi/)

Komdigi dan publisher sepakat buat harmonisasi PP Tunas (hukum) dan IGRS (teknis). Ini artinya mereka sudah paham banget sama dua teori ini

Lawan Kultivasi

IGRS itu kayak kompas biar konten nggak kebablasan. Ini ngontrol "dosis" biar anak nggak kena Sindrom Dunia Menakutkan. Publisher yang ikut moderasi? Itu keren! Mereka bantu bersihkan kurikulum tersembunyi game jadi positif.

Lawan Pembelajaran Sosial (Kelakuan)

Fokus ke Literasi Digital itu SCT banget! Ini bikin orang tua sama anak jadi agen perubahan. Anak jadi PD ngatur diri (Self-Efficacy) dan nggak gampang ketularan kelakuan yang nggak baik. Verifikasi usia? Tentu! Ngasih batas buat modeling yang nggak pantas ditiru.

Visi Inovasi yang Bertanggung Jawab: Gaspol Tapi Safety First!

Intinya, PP Tunas itu bukan pengereman. Justru ini kayak pemandu arah yang pintar buat industri game biar maju pesat, tapi nggak melanggar etika! Mereka dipaksa mikir, gimana bikin game yang seru, menguntungkan, sekaligus ramah anak?

Ini dorongan buat inovasi di:
  • Design Positif: Bikin game yang mekaniknya ngajarin sportivitas (jadi vicarious reinforcement-nya bahagia!).
  • AI Moderasi Canggih: Pakai AI/ML yang lebih hebat buat menangkal chat yang nggak baik secara langsung.
  • Parental Control yang Gampang: Bikin fitur kontrol buat ortu yang user-friendly banget, biar ortu yang nggak terlalu melek teknologi pun bisa PD makenya!


Penutup: Masa Depan yang Aman dan Inovatif – Let's Go!

Kombinasi dua teori ini, Kultivasi dan Kognitif Sosial, bikin kita ngerti kalau aturan Komdigi ini nyentuh dua hal paling penting, pikiran (vibe dunia) dan kelakuan (attitude).

Komitmen para publisher gede? Itu nunjukkin kalau mereka sadar, ngatur diri sendiri aja nggak cukup tanpa PP Tunas. Ini bukti kalau kita beneran serius jagain generasi penerus dari dunia gelap game (heavy exposure) dan dari kelakuan buruk yang ditiru (modeling), dan ini masih awalan. Roadmap-nya masih panjang. Tapi, dengan framework PP Tunas dan IGRS, kita optimis! Kita mau game itu jadi ruang yang aman, adil, dan seru!

Sumber

Kompas.com, 2025, https://nasional.kompas.com/read/2025/11/15/08062611/komdigi-kumpulkan-pelaku-industri-game-online-bahas-pengawasan-hingga

Baran, J. Stanley, 2013, Mass Communication Theory, Foundations, Ferment, and Future 7th Edition, Cengage Learning.

Griffin, Em; Ledbetter, Andrew; Sparks, Glenn, 2019, A First Look At Communication Theory, 10th Edition, McGraw-Hill Education.







Tulisan lainnya
Social Media
kontak yeTerangkat
yuhuuuterangkat@gmail.com
-
yeTerangkat
tempat ide ketemu hati nurani dan ditulis!
-
yeterangkat.