Tenaga Surya Ada, Tenaga Kerja Tidak Ada

Tenaga Surya Ada, Tenaga Kerja Tidak Ada

Tenaga Surya Ada, Tenaga Kerja Tidak Ada
Ilustrasi orang bekerja pasang solar panel (pexels)
dibaca normal sekitar 7 menit
oleh Darwadi

Negara kita memang tidak baik-baik saja sejak lama, tapi ya seperti itulah yang terjadi. Negara yang dengan segala dinamikanya dan sebenarnya kita masih terus berjuang di antara kompetisi dunia yang ketat dan cepat. Jika melihat lebih dalam, dinamika bangsa ini sangatlah kompleks, tumpang tindih dan entah dibagian mana yang harus diselesaikan terlebih dahulu.

1. Bekerja Keras Mencari Kerja

Ilustrasi mencari kerja (pexels.com/@ron-lach/)
Ilustrasi mencari kerja (pexels.com/@ron-lach/)

Melansir dari Kompas.com, yang berjudul Angka Pengangguran di Indonesia Tertinggi se-ASEAN, Apa yang Perlu Dilakukan Pemerintah? Dari Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia mencatat angka pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta per Februari 2025. Tak hanya itu, Indonesia bahkan memperoleh peringkat pertama sebagai negara dengan pengangguran tertinggi se-Asia Tenggara. Berdasarkan Trading Economics, persentase pengangguran di Indonesia sebesar 4,67 persen, tertinggi se-ASEAN. Hal ini menjadikan salah satu sinyal bahwa dari hulu hingga hilir pada sisi mencari kerja, kita sedang benar-benar bekerja keras.

Jika melihat dari sudut pandang industri, pengangguran yang terjadi bisa merupakan efek domino dari sistem yang sangat kompleks, bisa dari pemerintah dalam hal ini kebijakan regulasi, ekonomi dan lain-lain dan jika dilihat lebih dalam lagi dari pemahaman sudut pandang industri yang kita anut, seberapa besar faktor manusia bisa berkontribusi pada penjualan dan/atau produksi? Yang pada intinya bagaimana struktur biaya bisa terkendali dengan baik secara kualitas maupun kuantitas.

2. Khatulistiwa Kaya Cahaya, Regulasi Masih di Bayang-Bayang

Ilustrasi matahari tertutup awan (pexels.com/@tomfisk)
Ilustrasi matahari tertutup awan (pexels.com/@tomfisk)
Masih melansir dari Kompas.com, “…Dia menjelaskan, salah satu cara agar sektor industri bangkit kembali adalah pengendalian impor bahan jadi..” ujar Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira.

Hal ini menandakan industri yang dimaksud kalah saing dari sisi biaya, mutu, dan waktu. Jika kita ditempatkan pada posisi pemilik pengolah bahan impor tersebut, sepertinya kita akan lebih memilih meng-impor bahan baku dengan harga yang bisa bersaing dari sisi biaya, mutu, waktu. Hal yang lumrah dalam sisi produksi, karena produksi memang harus menekan biaya semurah mungkin.

Jika kendali harga bahan baku susah kita kendalikan atau hadapi, mungkin kita perlu menyikapi realita dari sisi yang lain, salah satunya dari sisi cara mendapatkan energi, sumber daya yang gemah ripah loh jinawi menjadi keuntungan kita sebagai negara yang berlokasi di khatulistiwa.

Seharusnya Energi Baru Terbarukan (EBT) bisa menjadi salah satu solusi dalam hal pengendalian biaya terutama pada produksi. Karena berlimpahnya sinar matahari, angin, panas bumi, air dll. Kita semua bisa dapatkan secara cuma-cuma. Pada konteks ini, dengan mengarahkan energi kita juga pada Energi Baru Terbarukan dan benar-benar menseriusi hal itu, sepertinya kita berpeluang untuk bisa membuka banyak kesempatan kerja yang lebih besar, muskipun hingga saat ini kebijakan terkait EBT sepertinya juga masih tarik ulur. Masih melansir dari Kompas.com, “Selanjutnya, pemerintah perlu menciptakan motor ekonomi baru, misalnya di sektor transisi energi. Bhima mengungkapkan, sektor tersebut memilki kebutuhan yang mencapai 96 juta lapangan kerja dalam 15 tahun ke depan. Mulai dari industri komponen EBT, instalasi listriknya, transmisi sampai baterai penyimpanan itu menyerap tenaga kerja semua," ujar Bhima.

3.Negara Tropis dengan Kebijakan Beriklim Dingin

Ilustrasi tropis (pexels.com/@asadphoto)
Ilustrasi tropis (pexels.com/@asadphoto)
Transisi energi melansir dari katadata.co.id, merujuk pada perubahan sistematis dari satu sumber energi ke sumber energi yang berbeda atau perubahan dalam cara energi dihasilkan, disimpan, didistribusikan, dan digunakan. Ini mencakup pergeseran dari sumber energi konvensional yang bersifat tidak terbarukan dan berpotensi merugikan lingkungan, seperti bahan bakar fosil, menuju sumber energi yang lebih bersih, terbarukan, dan berkelanjutan. Contohnya, energi matahari, angin, hidro, biomassa, dan lainnya.

Transisi energi menjadi harapan dan dipercaya bisa sebagai game changer di Industri maupun pada serapan tenaga kerja, malah bahkan pada bumi. Namun sayangnya, melansir dari IESR.org, realita yang terbentuk di masyarakat, EBT merupakan harga energi yang mahal, dan energi konvensional cenderung lebih kompetitif padahal hal tersebut sudah tidak relevan lagi seiring berjalannya waktu hingga saat ini.

Masih melansir dari IESR.org “Biaya listrik PLTU batubara di Indonesia memang lebih murah dari rata-rata dunia, kisaran antara 4-6 sen/kWh. Namun, biaya tersebut dimungkinkan karena kebijakan dan regulasi yang mendukung pembelian harga batubara untuk domestik yang murah (DMO price cap USD 70/ton), jaminan usaha PLTU dari pemerintah serta tidak ketatnya standar emisi dan polusi lingkungan.” ungkap Deon Arinaldo, Manajer Program Sistem Transformasi Energi, IESR.

Senada dengan press release yang disampaikan oleh IRENA.org, Laporan terbaru IRENA pada Juli 2025 mencatat tonggak penting dalam transisi energi global. Sebanyak 91 persen proyek pembangkit energi terbarukan baru di dunia kini lebih murah dibandingkan alternatif berbahan bakar fosil. Tren ini menegaskan bahwa energi bersih bukan lagi pilihan idealis, melainkan keputusan ekonomi yang rasional.

Dalam laporan tersebut, pembangkit tenaga surya tercatat rata-rata 41 persen lebih murah dibandingkan pembangkit fosil termurah, sementara tenaga angin darat bahkan mencapai selisih efisiensi hingga 53 persen. Sepanjang 2024, total kapasitas tambahan energi terbarukan mencapai sekitar 582 gigawatt, yang diperkirakan mampu menghemat biaya bahan bakar fosil senilai lebih dari 57 miliar dolar AS. Meski demikian, IRENA menekankan masih ada tantangan besar di negara berkembang, terutama terkait pembiayaan, integrasi jaringan, dan kesiapan rantai pasok. Namun arah besarnya sudah jelas, energi terbarukan kini bukan hanya solusi lingkungan, melainkan juga instrumen strategis untuk pengendalian biaya produksi dan memperkuat ketahanan energi.

4.Transisi Energi: Antara Kecepatan China, Ketegasan India, dan Kesabaran Indonesia

Ilustrasi matahari dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (pexels.com/@amolmande)
Ilustrasi matahari dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (pexels.com/@amolmande)
Dari hal tersebut, mungkin ada baiknya kita meluangkan sejenak untuk belajar bersama dari china tentang betapa seriusnya mereka pada EBT, melansir dari bisnis.com China mencatat rekor baru dalam pengembangan EBT. Menurut Reuters, sepanjang 2024 China berhasil melampaui rekor peningkatan kapasitas EBT dengan lonjakan pemasangan PLTS sebesar 45,2% dan PLTB sebesar 18%. Laporan Electricity 2025 dari IEA memproyeksikan emisi karbon dari pembangkit listrik China hanya akan tumbuh rata-rata 0,2% per tahun hingga 2027, melambat drastis berkat percepatan energi bersih, termasuk nuklir. Sementara itu, India juga menunjukkan kemajuan signifikan. Hingga Januari 2025, kapasitas pembangkit nonfosilnya mencapai 217,62 GW. Tahun lalu, India menambah kapasitas surya 24,5 GW dan angin 3,4 GW, lebih dari dua kali lipat pemasangan surya dan naik 21% untuk angin dibandingkan 2023.

Keseriusan dua negara tersebut tidak terlepas dari peran pemerintah yang tegas dan terarah dalam sustainable energy, yang secara implikasi berpengaruh positif terhadap banyak bidang, terutama berkontribusi pada penurunan biaya produksi dalam negeri dan serapan tenaga kerja. Kerangka-kerangka kerja pada transisi energi sudah bukan lagi hal yang langka, hal ini dapat dibuktikan dari pengalaman dan praktek di negara-negara tersebut.

Sumber
https://www.pexels.com/photo/solar-technicians-working-on-site-8853539


Tulisan lainnya
Social Media
kontak yeTerangkat
yuhuuuterangkat@gmail.com
-
yeTerangkat
tempat ide ketemu hati nurani dan ditulis!
-
yeterangkat.