2 Sinyal Bahaya yang Terabaikan

2 Sinyal Bahaya yang Terabaikan

2 Sinyal Bahaya yang Terabaikan
Ilustrasi anti-bullying (pexels.com/@life-matters-3043471/)
Dibaca normal sekitar 5 menit
oleh Darwadi

Gimana nggak sedih, terjadinya kasus meninggalnya siswa SMP setelah jadi korban bullying brutal itu bener-bener nyentuh banget. Ini bukan cuma soal kekerasan fisik, tapi juga menunjukkan ada kegagalan besar dalam cara kita berkomunikasi, apalagi di lingkungan sekolah.

Awalnya sih cuma ejekan, tapi terus jadi kekerasan fisik, ditendang, dipukul, sampai puncaknya, kepala korban dihantam pakai kursi besi. Tragisnya, belakangan baru ketahuan kalau korban punya tumor otak yang mungkin jadi makin parah karena pukulan itu.

Curhatan ini mau coba bedah kasus korban ini pakai teori komunikasi, buat lihat pola interaksi yang jahat itu dan gimana sih respons dari pihak-pihak terkait.

1. Bullying Itu Komunikasi yang Merusak


Ilustrasi anti-bullying (pexels.com/@rdne/)
Ilustrasi anti-bullying (pexels.com/@rdne/)

Coba deh kita lihat, bullying itu pada dasarnya adalah komunikasi yang nggak sehat. Pelaku pakai komunikasi (baik verbal maupun fisik) buat nunjukkin kalau dia yang pegang kendali, buat mendominasi, dan pastinya buat bikin korban sengsara.

1. Mainan Kekuasaan (Power)

Perundungan itu bisa kita pahami lewat Teori Kekuasaan (Power Theory), Ini tuh kayak melihat kekerasan sebagai cara buat nunjukkin siapa yang lebih kuat.

Di sekolah, biasanya yang ngbully itu merasa (atau memang) punya status sosial lebih tinggi. Menurut Littlejohn, Foss, dan Oetzel (2016), kekuasaan itu intinya kemampuan buat memengaruhi orang lain.

Nah, para pelaku bullying ini pakai kekerasan fisik (tendangan, pukulan, tusukan sedotan) sebagai pesan nonverbal yang jelas banget, "Gue lebih kuat dari lo, dan gue bisa ngelakuin apa aja!" Ini bener-bener upaya untuk mengontrol dan merendahkan korban secara paksa.

2. Untung Rugi Pelaku (Social Exchange)

Kenapa sih bullying-nya nggak berhenti-henti? Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory) bisa kasih kita pencerahan dikit. Teorinya bilang, orang bakal terus ngelakuin sesuatu kalau untungnya lebih gede dari ruginya.Coba kita lihat dari sisi pelaku:
  • Untungnya (Rewards): Bisa jadi dia merasa puas, statusnya di antara temen-temennya naik, atau dia merasa keren karena bisa ngontrol orang.
  • Ruginya (Costs): Seberapa besar sih risiko dihukum atau dapat sanksi?
Kalau bullying berulang terus dari MPLS, itu artinya rewards yang didapat pelaku jauh lebih besar daripada costs yang mereka tanggung!

Ini jelas sinyal bahwa sekolah kurang berhasil kasih sanksi yang bikin jera. Kegagalan ini menciptakan lingkaran yang bikin bullying makin menjadi-jadi.

2. Sekolah Belum Jadi Tempat Aman


Ilustrasi sekolah (pexels.com/@pixabay)
Ilustrasi sekolah (pexels.com/@pixabay)

Kasus ini menunjukkan banget kalau sekolah sebagai institusi itu kurang begitu berhasil bikin lingkungan yang aman. Sekolah harusnya jadi tempat inklusif, malah jadi tempat kekerasan. Kenapa?

1. Budaya Sekolah dan Iklim Komunikasi yang Ngga Pas.


Ini masuk ke ranah Komunikasi Organisasi. Budaya dan Iklim Komunikasi di sekolah itu penting banget buat nentuin gimana semua orang berinteraksi.

Kalau iklimnya buruk, di mana kekerasan dianggap biasa aja atau nggak terlalu parah, maka perundungan pasti subur, Littlejohn & Foss (2009) bilang, komunikasi organisasi itu lihat gimana struktur komunikasi ngebentuk organisasi.

Dalam hal ini, pihak terkait secara nggak langsung ngirim pesan ke siswa, "Ah, bullying kecil-kecilan sih wajar," atau "Nggak akan sampe gimana-gimana kok." Pesan nonverbal (lewat ketidaktegasan mereka) ini bikin iklim sekolah jadi permissive terhadap kekerasan.

Kalau dari MPLS sudah ada masalah, artinya sistem pengawasan komunikasi mereka sudah jebol dari awal!

2. Gagal Paham (Sensemaking)


Teori Sensemaking (Weick, dalam Littlejohn, Foss, & Oetzel, 2016) bahas gimana sebuah organisasi mencoba memahami apa yang terjadi di sekitarnya. Dalam kasus ini, enam saksi diperiksa, (bisa jadi) mereka kurang begitu berhasil dalam memahami dan menindaklanjuti tanda-tanda bullying yang terus berulang. Informasi atau laporan yang masuk (mungkin) nggak diolah jadi tindakan korektif yang berarti.


Last but not least

Kasus ini bener-bener tamparan keras buat sekolah dan kita semua! Analisis komunikasi kita menunjukkan kalau bullying itu berakar dari kekuasaan yang nggak terkontrol dan lingkungan sekolah yang kurang berhasil bikin aturan jelas soal rewards dan costs (Social Exchange). Pokoknya, sistem di sekolah jebol karena toleransi terhadap kekerasan (Iklim Komunikasi).

Kita juga harus hati-hati sama narasi soal tumor, jangan sampai itu bikin masalah utama (bullying) jadi kabur.
Intinya, buat mencegah kejadian kayak gini terulang, sekolah harus fokus banget bikin iklim komunikasi yang aman, penuh empati, dan pastinya, nggak main-main sama hukuman buat kekerasan.

Kalau komunikasinya sehat, Insya Allah lingkungannya juga sehat!

Sumber
Kompas, 2025, https://megapolitan.kompas.com/read/2025/11/17/07561991/nasib-pilu-siswa-smpn-tangsel-yang-diduga-dibully-hingga-meninggal?page=all#page2

Littlejohn, W. Stephen, Foss, A. Karen, Oetzel, G. John, 2017, Theories of Human Communication 11th Edition, Waveland Press, Inc

Littlejohn, W. Stephen, Foss, A. Karen, 2009, Encyclopedia of Communication Theory, Sage Publication, Inc


Tulisan lainnya
Social Media
kontak yeTerangkat
yuhuuuterangkat@gmail.com
-
yeTerangkat
tempat ide ketemu hati nurani dan ditulis!
-
yeterangkat.