25 Oktober 2025 3:36 pm

Pertigaan Jalan Energi

Pertigaan Jalan Energi
Ilustrasi energi (pexels.com/@fabiano-rodrigues-794857)
dibaca normal sekitar 10 menit
oleh Darwadi

Negara ini begitu besar dan permasalahannya terasa tak berujung. Jika dirunut dari berbagai konteks, salah satu hal yang berada di lapisan teratas akar persoalan adalah urusan energi yang belum juga beres. Sumber energi yang kita gunakan di Indonesia menjadi salah satu sumber masalah yang memiliki dampak domino sangat panjang. Di satu sisi, ada tekanan global karena kita masih bergantung pada energi hasil ekstraksi bumi. Di sisi lain, kita telah berkomitmen mencapai net zero emission pada tahun 2035. Dari paradoks yang begitu lebar ini, muncul pertanyaan, mungkinkah isu ini benar-benar bergeser, setidaknya mendekati titik nol?

1. Ketika Panasnya Bumi Jadi Cermin Dingin Komitmen Kita

Ilustrasi cuaca panas (pexels.com/@athena)
Ilustrasi cuaca panas (pexels.com/@athena)
Masih dominannya sumber energi kita yang berasal dari hasil ekstraksi bumi, serta kompleksnya permasalahan yang terjadi di ranah tersebut, menjadi sinyal bahwa persoalan ini memerlukan waktu yang cukup panjang untuk dapat diselesaikan.

Implikasi yang muncul tentu tidak sedikit, mulai dari dampak lingkungan, peningkatan suhu bumi, khususnya di wilayah kita, hingga potensi bencana alam yang semakin sering terjadi. Dari sisi internasional, hal ini juga dapat membuat posisi kita dianggap kurang berkomitmen terhadap isu lingkungan.

Padahal, di satu sisi, kita telah menyatakan komitmen terhadap net zero emission pada tahun 2035 dan turut terlibat dalam program JETP (Just Energy Transition Partnership). Dilansir dari Kumparan, JETP merupakan sebuah kemitraan global yang disepakati oleh para pemimpin negara di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang digelar di Bali pada tahun 2022 dengan tujuan guna mempercepat transisi energi yang adil menuju keberlanjutan dan mengurangi dampak perubahan iklim.

Selain itu, dari aspek pertanian dan ekonomi, kenaikan suhu bumi dapat berujung pada kegagalan panen dan terganggunya aktivitas ekonomi, sebuah konsekuensi yang hampir pasti terjadi jika situasi ini tidak berubah.

2. Idealisme Hijau dan Realitas Jalanan: Menguji Kesiapan Kita di Hilir Energi

Ilustrasi stasiun pengisian BBM (pexels.com/@onbab)
Ilustrasi stasiun pengisian BBM (pexels.com/@onbab)
Di sisi lain, penggunaan hasil ekstraksi bumi sebagai sumber energi juga menjadi perhatian tersendiri. Kesiapan di sektor hilir saat beralih ke sumber energi baru perlu diperhatikan dengan serius, karena hal ini bisa menjadi permasalahan berikutnya apabila tidak dimitigasi secara matang.

Sebagai contoh, ketika kita menyiapkan sektor hulu dengan sangat detail, potensi pembiayaan bisa dari skema G2G atau B2G atau bisa yang berasal dari berbagai sumber dan sebagainya, pengelolaan risikonyapun sepertinya bisa diatur, namun saat berbicara tentang sektor hilir, dari potensi pembiayaan hingga pengelolaan risiko sepertinya akan sepenuhnya dalam kendali yang terkait, dalam hal ini biasanya negara hanya sebatas fasilitator.

Ditambah lagi, pada sektor ritel seperti penggunaan sepeda motor oleh pengemudi ojek online dan sebagainya, masih banyak yang menggunakan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil. Jika transisi energi dilakukan secara tergesa-gesa tanpa kesiapan yang matang di hilir, hal ini justru dapat menimbulkan permasalahan baru.

Dilansir dari ESG University dalam tulisan berjudul “Op/Ed: Net-Zero Emission Ideologies Will Be Destructive to Future Generations,” pandangan yang disampaikan di sana memberikan sudut pandang baru tentang konsep Net-Zero Emission. Dalam tulisan tersebut disebutkan

“The ideology of ‘net-zero emissions,’ while politically appealing, is in practice destructive to future generations. By discouraging the construction of new refineries and processing facilities in developed countries, it undermines the very foundations of the supply chain that delivers essential fuels and products to society. If this trajectory continues, the outcome will not be a cleaner or safer world, but rather one marked by shortages, rising costs, and declining living standards for billions of people.”

Secara garis besar, tulisan tersebut mengingatkan kita bahwa sebagai pengguna energi fosil, kita perlu hidup berdampingan dengan penuh tanggung jawab, bijak, bersih, dan efisien.

3. Mereka yang Menentukan dan Mereka yang Mengantre

Ilustrasi mengantre (tangkapan layar film G30S)
Ilustrasi mengantre (tangkapan layar film G30S)
Kebijakan tentang energi akan selalu menjadi salah satu ujung tombak yang menentukan ke arah mana negara kita akan dibawa. Aktivitas harian kita, mulai dari presiden hingga masyarakat biasa, tidak pernah lepas dari konsumsi energi. Yang membedakan hanyalah cara kita mengaksesnya, sesederhana memilih antara jalur antre dan jalur tanpa antre.

Jika mengingat salah satu film yang dulu selalu diputar setiap tanggal 30 September menjelang tengah malam, terdapat satu adegan yang menggambarkan kondisi rakyat Indonesia pada masa itu, ketika mereka harus mengantre untuk mendapatkan minyak tanah. Terlepas dari benar atau tidaknya konteks isi film tersebut, penggambaran kesulitan rakyat kala itu tampaknya tidak banyak berbeda dengan kondisi hari ini.

Hal ini sengaja diangkat karena baik permasalahan di hulu maupun di hilir pada dasarnya berada di “tataran langit”, wilayah kebijakan dan pengambil keputusan. Namun, jika berbicara di “tataran bumi”, persoalannya menjadi jauh lebih sederhana, bagaimana cara mengakses energi, dan berapa harga yang harus dibayar untuk mendapatkannya.

4. Satu Saklar untuk Semua

Ilustrasi electric breaker (pexels.com/@jessica-monte-67886)
Ilustrasi electric breaker (pexels.com/@jessica-monte-67886)
Persoalan energi salah satunya kelistrikan dan dapat dilihat dari monopoli di bidang kelistrikan. Secara teori, monopoli di sektor ini sering dianggap sebagai bentuk kebijakan yang pro-rakyat. Sebagai pengguna listrik negara, kita menyadur dari buku Economics edisi ke-19 karya Samuelson dkk. (2009), yang menyebutkan,

“Recall that a natural monopoly occurs when the industry’s output can be efficiently produced only by a single firm. Prominent examples of industries regulated today include public utilities (electricity, natural gas, and water).”

Sekilas, hal tersebut tampak wajar. Jika melihat dari sisi investasi awal hingga distribusi, sektor ini memang padat modal. Namun, jika menilik kembali kutipan di atas, “the industry’s output can be efficiently produced only by a single firm”, rasa-rasanya di tempat kita tinggal, hal itu belum sepenuhnya berlaku.

5. Mulai dari yang Sederhana

Ilustrasi saklar (pexels.com/@kelly)
Ilustrasi saklar (pexels.com/@kelly)

Terlepas dari berbagai dinamika yang terjadi di “langit”, pada akhirnya kita yang hidup di “bumi” harus sadar bahwa bumi adalah satu-satunya tempat tinggal yang harus dijaga. Setidaknya, kita perlu memahami perbedaan dasar mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan energi.

Dilansir dari Tirto.id, efisiensi energi dapat dipahami sebagai upaya untuk mengurangi jumlah energi yang digunakan dalam mengoperasikan peralatan atau sistem yang berkaitan dengan energi. Sementara itu, efisiensi konversi energi mengacu pada seberapa efektif suatu sistem atau proses mampu mengubah energi dari satu bentuk ke bentuk lainnya.

Dalam artikel tersebut juga dijelaskan empat perbedaan antara efisiensi energi dan konservasi energi. Namun, dari penjelasan itu, ada dua hal yang paling mungkin dilakukan oleh masyarakat awam.

Pertama, penerapan efisiensi energi memang dapat menurunkan tingkat konsumsi energi, tetapi tidak serta-merta mengurangi gas rumah kaca atau polutan lain yang dihasilkan. Kedua, konservasi energi adalah langkah nyata untuk menekan penggunaan energi sekaligus menurunkan emisi gas rumah kaca. Dari sisi biaya, keduanya pun memiliki perbedaan yang cukup jelas.

Efisiensi energi umumnya menghasilkan produk atau teknologi yang mampu menghemat energi, namun membutuhkan investasi yang tidak sedikit dalam proses pengembangannya. Sebaliknya, konservasi energi adalah tindakan sederhana yang dapat dilakukan kapan saja tanpa harus mengeluarkan biaya apa pun.

Sumber:
Samuelson, Paul A., & Nordhaus, William D. (2009). Economics (19th ed.). McGraw-Hill Education.
https://tirto.id/perbedaan-antara-efisien-energi-dan-konservasi-energi-g3h7


Tulisan lainnya
Social Media
kontak yeTerangkat
yuhuuuterangkat@gmail.com
-
yeTerangkat
ruang cerita yang menumbuhkan harapan dan kehidupan berkelanjutan
-
yeterangkat.